Rabu, 10 Februari 2010

POLITIK LUAR NEGERI MALAYSIA TERHADAP REGIONALISME DI ASEAN



Politik luar negeri Negara-negara anggota ASEAN, misalnya Malaysia, tidak dapat dipisahkan dari dinamika hubungan antara faktor-faktor domestik seperti politik, sosial, budaya, ekonomi dan militer menentukan persepsi para pengambil keputusan luar negeri pada satu sisi. Untuk itu, agar dapat memahami mengenai politik luar negeri Malaysia, terlebih dahulu kita pahami mengenai keadaan Malaysia terlebih dahulu, misalnya saja system politik Malaysia, system pemerintahan, bentuk pemerintahan dan bentuk Negara Malaysia, karena hal ini juga dapat mempengaruhi politik luar negeri Malaysia.
Malaysia merupakan Negara yang berbentuk federasi. Dimana Malaysia terdiri dari tiga belas negara bagian dan tiga wilayah persekutuan yaitu persekutuan Kuala Lumpur, Labuan Island dan Putrajaya sebagai wilayah administratif federal. Setiap Negara bagian memiliki majelis, dan pemerintah negara bagian dipimpin oleh kepala menteri (chief minister) dimana kepala menteri di tiap negara bagian diangkat oleh majelis negara bagian.
Dalam Negara federal seperti Malaysia maka ada kekuasaan federal dan ada kekuasaan Negara bagian. Soal-soal yang menyangkut negra dalam keseluruhannya diserahkan kepada kekuasaan federal. Dalam hal tertentu misalnya mengadakan perjanjian internasional atau mencetak uang, pemerintah federal bebas dari Negara bagian dan dalam bidang itupemerintah federal mempunyai kekusaan yang tertinggi. Tetapi, untuk soal yang menyangkut Negara bagian belaka dan tidak termasuk kepentingan nasional, diserahkan kepada kekuasaan Negara-negara bagian. Jadi, dalam soal-soal semacam itu pemerintah Negara bagian bebas dari pemerintah federal misalnya, soal kebudayaan, kesehatan pendidikan .
Bentuk pemerintahan Malaysia adalah monarki konstitusional, yaitu berupa Negara kerajaan yang diatur oleh konstitusional. Dimana kepala negaranya merupakan seorang raja yang disebut dengan Yang di-Pertuan Agong (Raja Malaysia). Yang di-Pertuan Agong dipilih dari dan oleh sembilan Sultan Negeri-Negeri Malaya, untuk menjabat selama lima tahun secara bergiliran; empat pemimpin negeri lainnya, yang bergelar Gubernur, tidak turut serta di dalam pemilihan .
Sistem pemerintahan yang dianut oleh Malaysia adalah system parlementer. Sistem parlementer yang dipakai oleh Malaysia bermodelkan sistem parlementer Westminster, yang merupakan warisan Penguasa Kolonial Britania. Tetapi apabila melihat prakteknya , kekuasaan lebih terpusat di eksekutif daripada di legislatif, dan judikatif diperlemah oleh tekanan berkelanjutan dari pemerintah selama zaman Mahathir, kekuasaan judikatif itu dibagikan antara pemerintah persekutuan dan pemerintah negara bagian. Dalam system pemerintahan Malaysia yang menjadi kepala pemerintahan adalah seorang perdana menteri.
Sistem politik Malaysia dapat dikatakan demokrasi, hal ini dapat dilihat dari adanya pembagian kekuasaan dan adanya pelaksanaan pemilu meskipun kalau dilihat lebih dalam tidak begitu demokratis karena tidak jurdil. Di Malaysia, seperti kebanyakan Negara lainnya kekuasaan Negara terdiri dari badan eksekutif, legislatif dan yudikatif.
Kekuasaan eksekutif dilaksanakan oleh kabinet yang dipimpin oleh perdana menteri; konstitusi Malaysia menetapkan bahwa perdana menteri haruslah anggota dewan rendah (Dewan Rakyat), yang direstui Yang di-Pertuan Agong dan mendapat dukungan majoritas di dalam parlemen. Kabinet dipilih dari para anggota Dewan Rakyat dan Dewan Negara dan bertanggung jawab kepada badan itu.; sedangkan kabinet merupakan anggota parlemen yang dipilih dari Dewan Rakyat atau Dewan Negara.
Dalam kekuasaan legislative Malaysia memiliki sistem bikameral yang terdiri dari Senat (Dewan Negara) dan House of Representatives (Dewan Rakyat). Senat menguasai 70 kursi di parlemen sementara HoR menguasai 219 kursi. 44 anggota Senat ditunjuk oleh pemimpin tertinggi sementara 26 lainnya ditunjuk oleh badan pembuat UU di negara bagian. Anggota HoR dipilih melalui popular vote untuk masa jabatan selama 5 tahun.
Dalam hal kekuasaan Yudikatif, sistem hukum di Malaysia berdasar pada hukum Inggris dan kebanyakan UU serta konstitusi diadaptasi dari hukum India. Di Malaysia terdapat Federal Court, Court of Appeals, High Courts, Session's Courts, Magistrate's courts dan Juvenile Courts. Hakim Pengadilan Federal ditunjuk oleh pemimpin tertinggi dengan nasehat PM. Pemerintah federal memiliki kekuasaan atas hubungan luar negeri, pertahanan, keamanan dalam negeri, keadilan, kewarganegaraan federal, urusan keuangan, urusan perdagangan, industri, komunikasi serta transportasi dan beberapa urusan lain .
Pemilihan umum parlemen Malaysia dilakukan paling sedikit lima tahun sekali, dengan pemilihan umum terakhir pada Maret 2008. Pemilih terdaftar berusia 21 tahun ke atas dapat memberikan suaranya kepada calon anggota Dewan Rakyat dan calon anggota dewan legislatif negara bagian juga, di beberapa negara bagian. Voting tidak diwajibkan. Malaysia menganut sistem multipartai. Seperti Indonesia, banyak sekali partai politik di Malaysia, sekitar 33 parpol. Namun, berbeda dengan Indonesia, pemilu hanya diikuti dua kontestan, yaitu parpol yang tergabung dalam Barisan Nasional (BN) dan parpol yang tergabung dalam Barisan Alternatif (BA).
BN adalah koalisi partai penguasa yang ditulangpunggungi UMNO (United Malays National Organization), MCA (Malaysian Chinese Association), dan MIC (Malaysian India Congress), serta sebelas partai pendukung lainnya.
Ada pun BA adalah kumpulan partai oposisi yang dipimpin PAS (Partai Islam se-Malaysia), PKR (Partai Keadilan Rakyat), DAP (Democratic Action Party), dan 16 partai pendukung lainnya.
Di Malaysia, yang menganut sistem parlementer, pelaksanaan pemilu bisa disederhanakan sedemikian rupa sehingga memudahkan pemilih dalam menentukan pilihan. Partai-partai dengan latar belakang ras dan ideologi yang beragam itu bertarung dalam dua bendera koalisi, yang dijalin sebelum dan sesudah pemilu, serta dilakukan secara permanen.
Kerangka konstitusional sistem politik Malaysia memang bersifat demokratis. Namun, kerangka demokratis itu disertai kontrol otoritarian yang luas untuk menyumbat oposisi yang efektif. Karena itu, sulit dibayangkan partai pemerintah bisa kalah. Sejak awal, sistem politik Malaysia merupakan campuran dari karakteristik responsif dan represif. Sistem pemilu Malaysia juga tidak jurdil. Sistem dirancang untuk cenderung menguntungkan partai pemerintah sehingga hampir mustahil ia dapat dikalahkan.
Dalam setiap pemilu, BN selalu memenangkan sekitar 3/5 suara dan menguasai mayoritas kursi di parlemen. Bahkan, dalam Pemilu 1990 dan 1999, ketika UMNO dilanda perpecahan serius dan BN dalam tekanan politis yang kuat oleh gerakan reformasi, oposisi tetap kalah.
Pada Pemilu 2004, kemenangan BN lebih mencolok lagi. BN merebut 199 kursi atau 90 persen dari 222 kursi parlemen dan mengontrol 13 DUN (Dewan Undangan Negeri) dari 14 negara bagian, kecuali Kelantan yang dikuasai PAS. Negara Bagian Trengganu yang jatuh ke tangan PAS pada Pemilu 1999 juga berhasil direbut kembali oleh BN .
Dengan demikian, pemilu pada praktiknya tidak bisa mengganti pemerintahan, tetapi hanya memaksa pemerintah untuk lebih responsif. Pemilu Malaysia hanyalah casting suara dari ritual rutin empat atau lima tahun sekali untuk memperbarui sampul legitimasi pemerintahan otoritarian. Cara-cara UMNO memenangkan pemilu masih sama dengan cara hegemonik Golkar pada era Orde Baru di Indonesia.
Dengan memahami kedaan Negara Malaysia mulai dari bentuk Negara, bentuk pemerintahan, sistem pemerintahan dan sistem politik seperti yang telah dijelaskan di atas, akan dapat membantu memahami mengenai politik luar negeri Malaysia, terutama politik luar negeri Malaysia terhadap regionalisme ASEAN.

Politik Luar Negeri Malaysia Terhadap Regionalisme di ASEAN
Sebagai Negara jajahan Inggris, Malaysia mengembangkan politik luar negeri yang sesuai dengan kondisi Negara yang sedang dalam proses pembentukan bangsa. Politik luar negeri Malaysia refleksi dan ekspresi dari dinamika faktor-faktor domestik dan internasional. Di tingkat domestik, pemerintah Malaysia menjadikan ketenangan dan stabilitas politik sebagai ukuran tercapainya keamanan domestik. Sementara di tingkat internasional, pemerintah Malaysia menjadikan kemampuan untuk mengendalikan ancaman regional maupun global sebagai ukurannya .
Bagaimana politik luar negeri Malaysia terhadap regionalisme di ASEAN? Apakah Malaysia sudah siap terhadap regionalisme di ASEAN?
Apabila kita lihat dari segi ekonomi, Malaysia sepertinya siap untuk regionalisme ASEAN. Seperti yang diketahui, di bawah Mahatir, Malaysia memasuki era kemajuan ekonomi dan politik jauh melampaui masa sebelumnya. Hingga sekarang Malaysia dan juga Singapura merupakan Negara yang lebih maju dibandingkan Negara anggota ASEAN lainnya. Tetapi, apabila kita lihat dari segi hubungannya dengan Negara anggota lain, sepertinya Malaysia belum bisa dikatakan siap. Seperti yang sudah diketahui, Malaysia memiliki hubungan yang kurang baik dengan Negara anggota lainnya, Malaysia-Indonesia misalnya, awal tahun 2005 sempat “hangat” karena persoalan tumpang tindih klaim atas wilayah perairan di sekitar laut sulawesi yang kita kenal dengan wilayah Ambalat, bahkan sampai sekarang permasalahan tersebut belum jelas penyelesaiannya. Selain itu hubungan kurang baik yang lainnya yaitu antara Malaysia-Thailand yang saling “berperang” pernyataan terkait dengan persoalan di Thailand selatan. Dalam dua kasus tersebut, kesan terjadinya ketegangan justru lebih dirasakan di kalangan masyarakat ketimbang di kalangan pejabat pemerintah .
Permasalahan dan hubungan kurang baik dengan Negara anggota ASEAN lainnya akan dapat menghambat terlaksananya regionalisme ASEAN, visi ASEAN 2015 yang dikenal dengan ASEAN Community, di mana dalam pengimplementasiannya, pada tahun 2015 nanti, tidak akan ada lagi yang dikenal sebagai rakyat Malaysia, rakyat Indonesia atau rakyat Singapura, yang ada hanya rakyat ASEAN, masyarakat ASEAN dalam satu wilayah ASEAN dengan wajah komunitas ASEAN . Dimana dituntut hubungan baik antar Negara anggota, terutama kalangan masyarakatnya agar dapat membantu terwujudnya ASEAN Community.
Namun yang menjadi pertanyaan adalah apakah Malaysia mau dan mampu mereduksi keegoisan kepentingan nasionalnya? Atau apakah Malaysia yang merupakan Negara yang memiliki perekonomian yang maju mau untuk menurunkan dan membagi sedikit kekayaannya untuk negara anggota yang lebih miskin?
Apabila Malaysia dapat menjawab “YA” politik luar negeri Malaysia benar-benar siap terhadap regionalisme di ASEAN yang dikenal dengan ASEAN Community.























SUMBER :
Budiardjo, Mirriam.2008. Dasar-dasar Ilmu Politik. Jakarta : PT. Gramedia Pustaka Utama.
Cipto, Bambang, Dr,MA.2007. Hubungan Internasional di Asia Tenggara. Yogyakarta : Pustaka Pelajar.
Luhulima, CPF. 2008. Masyarakat Asia Tenggara Menuju Komunitas ASEAN 2015. Yogyakarta : Pustaka Pelajar.

Website :
http://id.wikipedia.org/wiki/Malaysia
http://technology-informasi.blogspot.com/2009/04/sistem-politik-malaysia.html
http://www.gp-ansor.org/?p=4369
http://rumahmercusuar.blogspot.com/2009/05/regionalisasi-di-kawasan-asia-tenggara.html

Tidak ada komentar:

Posting Komentar