Rabu, 10 Februari 2010

TIGA PILAR ASEAN COMMUNITY (KOMUNITAS ASEAN) 2015




Association of South East Asian Nation (ASEAN), merupakan organisasi negara-negara Asia Tenggara yang dibentuk pada tanggal 8 Agustus 1967 melalui deklarasi Bangkok. Pada tanggal 7 Oktober 2003, melalui Deklaration of ASEAN Concord II yang dihasilkan pada Pertenuan Puncak ASEAN ke-9, di Bali, para pemimpin Negara-negara ASEAN memproklamirkan pembentukan komunitas ASEAN (ASEAN Community) yang terdiri atas tiga pilar yaitu: Komnitas Keamanan ASEAN (ASEAN Security Community-ASC), Komunitas Ekonomi ASEAN (ASEAN Economic Community-AEC), dan Komunitas Sosial-Budaya ASEAN (ASEAN Socio-Cultural Community-ASCC). Tiga pilar pendukung Komunitas ASEAN ini menjadi paradigma baru yang akan menggerakkkan kerjasama ASEAN ke arah sebuah komunitas dan identitas baru yang lebih mengikat.

A. Masyarakat Keamanan ASEAN ( ASEAN Security Community-ASC )

Masyarakat Keamanan ASEAN (ASEAN Security Community-ASC) adalah suatu masyarakat yang secara khusus mengandalkan proses damai dalam menyelesaikan perselisihan yang mungkin terjadi di antara sesama anggota. Masyarakat Keamanan ASEAN berpegang pada prinsip-prinsip non-interfensi, pengambilan keputusan berdasarkan mufakat, ketahanan nasional dan regional, saling menghormati kedaulatan nasional, penghindaran penggunaan ancaman ataupun penggunaan ataupun kekuatan dan penyelesaian perbedaan maupun perselisihan secara damai. Sasaran kerjasama keamanan diarahkan pada upaya-upaya menangkal persengketaan diantara sesama Negara anggota maupun antara Negara anggota dengan Negara-negara non-ASEAN, mencegah ekskalasi persengketaan itu menjadi konflik.
Dalam membangun Masyarakat Keamanan ASEAN, terdapat fondasi-fondasi konseptual yang terdiri atas tiga tataran, yaitu :
Tataran pertama, terdapat kondisi-kondisi yang mempercepat terbentuknya komunitas keamanan, yaitu terjadinya perubahan teknologi dan adanya ancaman dari luar, menyebabkan Negara-negara membentuk aliansi dan muncul hasrat untuk mengurang ketakutan bersama melalui koordinasi keamanan. Namun, berbeda denagn aliansi militer yang ditujukan untuk mengahdapi ancaman dari luar, komunitas keamanan lebih ditujukan untuk menghadapi ancaman dari dalam komunitas itu sendiri dan tidak bertujuan membangun aliansi militer untuk menghadapi ancaman dari luar. Selain itu, perubahan demografi, ekonomi, dan berkembangnya interpretasi baru mengenai realitas sosia menyebabkan Negara-negara melirik arah yang diambil oleh masing-masing Negara dan berupaya untuk mencaai keuntungan bersama. Pada tataran ini Negara-negara sudah mulai mengesampinakan ancaman militer dan lebih memfokuskan diri pada kerjasama non-militer, seperti pada bidang ekonomi, social dan budaya. Pada tataran pertama ini masih terbentuk rasa saling percaya.
Pada tataran kedua factor-faktor kondusif untuk membangun rasa saling percaya dan identitas kolektif melalui interaksi lansung yang amat sering dalam berbagai pertemuan bersama, barulah terjadi pembelajaran social dan bangunan organisasi. Pada proses tersebut, dibutuhkan adanya kekuatan dan pengetahuan mengenai sesamanya. Kekuatan bukan dalam artian hard-power semata, melainkan lebih penting lagi yaitu soft-power. Paduan antara soft-power dan pengetahuan, mengenai sesame anggota komunitas, apa yang menjadi kepentingan bersama serta kepentingan diri masing-masing anggota komunitas, merupakan bagian dari proses pembelajaran social dan membangun fondasi organisasi.
Pada tataran ketiga dibutuhkan sosialisasi pada tingkatan elit politik dan rakyat agar muncul rasa saling percaya yang pada gilirannya mencipatakan identitas kolektif
Masyarakat keamanan ASEAN ini dibentuk tidaklah dimaksudkan untuk “mengintegrasikan” politik luar negeri dan kebijakan pertahanan asing-masing Negara anggota. Politik luar negeri dan pertahanan dirumusakan dan dilaksanakan sendiri-sendiri kendatipun tetap dilakukan dalam konteks ASEAN. ASEAN secara keseluruhan berpegang pada prinsip-prinsip keamanan komprehensif, ketahanan nasional dan regional yang memiliki aspek-aspek politik, ekonomi, social dan budaya. Namun, disini ASEAN tidak akan membentuk diri sebagai suatu pakta pertahanan, persekutuan militer ataupun mengembangkan suatu politik luar negeri bersama. Negara-negara ASEAN juga berpegang pada hak-haknya untuk mempertahankan eksistensi yang bebas dari campur tangan pihak luar dalam urusan internal masing-masing.
Apakah ASEAN setelah 40 tahun sudah menjelma dari suatu asosiasi minimalis menjadi suatu komuitas keamanan? Para ASEANists berpendapat bahwa ASEAN sudah menjelma menjadi komunitas keamanan hal ini terbukti dengan tidak adanya lagi konflik terbuka antar Negara-negara anggota meskipun perselisihan dan perbedaan kepentingan masih sering terjadi. Namun di pihak lain, banyak para pengamat yang menyatakan bahwa ASEAN belum menjelma menjadi komunitas keamanan hal itu dibuktikan dengan masih banyaknya sengketa wilayah, pertikaian dan konflik kepentingan antar-sesama anggota, belum adanya norma bersama yang dianut, lemahnya perasaan identitas bersama serta belum adanya mekanisme ASEAN yang handal dan teruji untuk menyelesaikan konflik

Indonesia dalam Masyarakat Keamanan ASEAN (ASEAN Security Community-ASC)
Dalam ASC, Indonesia mengusulkan agar ASEAN memajukan demokrasi serta memerhatikan perlindungan HAM, antara lain dengan mendirikan mekanisme regional perlindungan HAM. Ide orisinil lainnya adalah pembentukan pasukan perdamaian regional sehingga ASEAN memiliki kemampuan untuk memainkan peran aktif dalam pemeliharaan perdamaian dan membangun perdamaian pasca konflik.
Namun, dalam pertemuan di Bali usul-usul Indonesia tersebut ditentang oleh sebagaian Negara anggota lainnya yang menilai Indonesia telah melangkah terlalu jauh. Mengingat perbedaan system politik yang tajam di ASEAN, yang terbagi di antara Negara-negara demokratis, semi-demokratis, dan otoriter, dapat dipahami bahwa pengungkapan komitmen untuk memajukan demokrasi dan perlindungan HAM secara terbuka seperti yang diusulkan Indonesia sulit untuk diterima.
Kemudian, ASC melakukan rencana aksi yang dikembangkan secara lebih detail dalam Vientine Action Program (VAP) yang disetujui pada November 2004. VAP mengenai ASC berhasil meyelipkan beberapa butir tentang demokrasi dan HAM yang telah diusulkan oleh Indonesia secara lebih terbuka.

B. Masyarakat Ekonomi ASEAN ( ASEAN Economic Community-AEC)
Masyarakat Ekonomi ASEAN merupakan pilar kedua yang menjadi landasan dalam membangun komunitas ASEAN. Dimana yang menjadi tantangan dalam Komunitas Ekonomi ASEAN ini adalah Negara India dan Cina, dimana kedua Negara ini dikenal semakin memainkan peran strategis dalam perekonomian global, dan ini merupakan ancaman bagi Negara-negara ASEAN. Untuk memahami apa yang dimaksud dengan Masyarakat Ekonomi oleh organisasi ASEAN, berikut adalah butir-butir penting yang diambil dari deklarasi Bali Concord II mengenai konsep Masyarakat Ekonomi ASEAN/ Komunitas Ekonomi ASEAN:
1. komunitas Ekonomi ASEAN adalah realisasi tujuan akhir dari integrasi ekonomi yang digariskan dalam ASEAN vision 2020 untuk menciptakan kawasan ekonomi ASEAN yang stabil, sejahtera dan berdaya saing tinngi.
2. landasan bagi Komunitas Ekonomi ASEAN adalah kepentingan bersama diantara Negara anggota ASEAN untuk memperdalam dan memperluas usaha-usaha integrasi ekonomi melalui kerjasama yang sedang berjalan dan inisiatif baru dalam kerangka waktu yang jelas.
3. Komunitas Ekonomi ASEAN perlu menjadikan ASEAN sebagai suatu pasar tunggal dan basis produksi, dengan menguba keanekaragaman yang menjadi karakter kawasan menjadi peluang bisnis yang saling melengkapi.
4. Komuitas Ekonomi ASEAN perlu menjamin bahwa perluasn dan pendalaman integrasi ASEAN harus dibarengi dengan kerjasama teknk dan pembangunan dalam usaha mengatasi jurang pembangunan dan mempercepat integrasi ekonomi anggota baru ( Kamboja, Laos, Myanmar dan Vietnam )
5. untuk mencapai Komunitas Ekonomi yang terintegrasi secara penuh, ASEAN perlu menerapkan langkah-langkah liberalisasi dan kerjasama.

Dalam membangun Komunitas Ekonomi ASEAN, hal yang tidak kalah penting yang harus dilakukan adalah dimana ASEAN yang selama ini banyak melibatkan actor Negara harus menggeser orientasinya sehingga actor non-negara terlibat dalam membangun komunitas. Khusus untuk integrasi di bidang ekonomi, aktor non Negara semestinya lebih diperankan oleh pelaku ekonomi. Komunitas Ekonomi ASEAN akan sulit untuk dicapai apabila pelaku ekonomi tidak mengenal ASEAN, tidak mengenal program-program ekonomi ASEAN yang dihasilkan dari negosiasi panjang dan yang penting juga adalah bila pelaku ekonomi tidak terlibat dalam perumusan arah dan langkah-langkah mencapai suatu komunitas.

Indonesia dalam Masyarakat Ekonomi ASEAN
Daya saing Indonesia dalam bidang ekonomi terus menurun, dimana hal ini akan mempersulit Indonesia untuk bersama-sama Negara anggota ASEAN lainnya dalam membangun Masyarakat Ekonomi ASEAN. Factor-faktor yang menyebabkan daya saing Indonesia terus menurun disamping investor yang tak kunjung datang disebabkan infrastuktur yang buruk, ketidakefisienan birokrasi, keterbatasan akses pendanaan, kebijakan tidak stabil/ inkonsistensi kebijakan, stabilitas ekonomi makro, pendidikan dasar dan kesehatan dan kesiapan ekonomi.
Beberapa yang menjadi catatan untuk mempersiapkan diri memasuki Masyarakat Ekonomi ASEAN adalah :
a. melakukan pemetaan untuk menginventarisasi seluruh barang dan jasa dalam negeri yang memiliki potensi berikut pasar yang dimiliki guna menetapkan positioning dan keunggulan dibandingkan dengan Negara ASEAN lainnya.
b. Identifikasi seluuh kelemahan dan hambatan dari barang dan jasa yang memiliki potensi.
c. Mengembangkan rantai nilai ( value chain ) barang dan jasa dalam negeri di antara Negara-negara ASEAN, yang dapat dikembangkan menjadi cluster ASEAN.
Untuk ketiga butir tersebut, tuntutan sinergitas antara pemerintah pusat, pemerintah daerah, dan dunia usaha menjadi suatu keharusan untuk mengejar ketertinggalan dari Negara anggota ASEAN lainnya, sehingga Indonesia dapat bersama-sama dengan Negara anggota lainnya membangun Masyarakat Ekonomi ASEAN.


C. Masyarakat Sosial-Budaya ASEAN (ASEAN Socio-Cultural Community-ASCC)
Masyarakat Sosial-Budaya ASEAN merupakan pilar ketiga yang menjadi landasan Komunitas ASEAN 2015. Berdasarkan Bali Concord II, Masyarakat Sosial Budaya ASEAN (ASCC), memilki karakteristik sebagai berikut :
1. ASCC, selaras dengan tujuan yang ingin dicapai dalam ASEAN vision 2020 mempertimbankan Asia Tenggara yang bersatu dalam sustu ikatan sebagai “a community of caring societies”.
2. sesuai dengan pogram aksi Deklarasi ASEAN Concord, sebuah komunitas akan mempercepat kerjasama dalam pembangunan social yang ditujukan guna meningkatkan standar kehidupan kelompok yang dirugikan dan penduduk pedesaan, dan akan mencari keterlibatan aktif semua sector masyarakat, khususnya kaum wanita, pemuda dan komunitas local.
3. ASEAN harus menjamin bahwa tenaga kerjanya akan disiapkan untuk, dan memperoleh keuntungan dari integrasi ekonomi dengan menanamkan sumber daya lebih banyak untuk pendidikan dasar dan lanjut, latihan, pembangunan iptek, penciptaan kesempatan kerja serta perlindungan social.
4. ASEAN akan lebih mengintensifkan kerjasama dalam bidang kesehatan umum, termasuk pencegahan dan pengendalian penyakit infeksi seperti halnya HIV/AIDS dan SARS, dukungan atas aksi bersama regional guna meningkatkan akses terhadap obat-obatan yang terjangkau.
5. komunitas akan memeliharabakat serta meningkatkan interaksi diantara, penulis, artis dan praktisi media ASEAN guna membantu perlindungan atas aneka peninggalan budaya ASEAN, serta mempererat identitas regional sekaligus menimbulkan kesadaran masyarakat ASEAN.
6. komunitas akan mengitensifkan pada kerjasama terhadap permasalahan yang berkaitan dengan pertumbuhan populasi, pengangguran, penurunan lingkungan hidup serta populasi lintas perbatasn sebagaiman manajemen bencana disuatu wilayah yang memungkinkan masing-masing Negara anggota memyadari potensi pembangunannya serta meningkatkan semangat bersama ASEAN.

Pada KTT ASEAN di Vientiane tahun 2004 bersama dengan rencana aksinya, para pimpinan ASEAN sepakat bahwa Masyarakat Sosial-Budaya ASEAN akan mencakup empat wilayah utama, yaitu :
a. pembentukan “a community of caring societies”
b. pengelolaan dampak social dari integrasi ekonomi
c. peningkatan pelestarian lingkungan
d. peningkatan identitas ASEAN


Kesimpulan
Dalam membangun komunitas ASEAN, berlandaskan tiga pilar yaitu Masyarakat Keamanan ASEAN (ASC), Masyarakat Ekonomi ASEAN (AEC) dan Masyarakat Soaial-Budaya ASEAN (ASSC). Tetapi apabila kita lihat ketiga pilar tersebut memiliki kekurangan yaitu : misalnya saja dalam pembangunan Masyarakat Keamanan ASEAN, yang ternyata tidak memperluas konsep ketahanan dan keamanan karena tidak memasukan ancaman atau tantangan non-konvensional dari segi ekonomi dan keuangan. Hal ini merupakan kekurangan yan sangat besar, karena pengertian ketahanan dan keamanan komprehensif hanya membatasi diri pada factor-faktor poitik dan keamanan tradisional saja.
Dalam pengembangan Masyarakat Ekonomi ASEAN terdapat satu masalah pokok yang dimana dalam pengembangannya bernemturan dengan kebijakan pengembangan Masyarakat Keamanan ASEAN, yaitu pembentukan pasar dan landasa produksi tunggal ASEAN. Masyarakat Kemanan ASEAN berpegang teguh pada “kedaulatan nasional, keadilan yang berdaulat, non-interferensi, integritas teritotial, identitas nasional, tanggung jawab bersama dan kerja sama yang damai untuk manfaat bersama di natara bangsa-bangsa di Asia Tenggara,” sedangkan Masyarakat Ekonomi ASEAN, sesuai logikanya, menafikan kedaulatan, integritas territorial dan non-interferensi dalam pengembangannya untuk membuat kegiatan-kegiatannya berskala global, melampaui pertimbangan nasional dengan cirinya yang hendak dipertahankannya secara politik.
Dalam Masyarakat Sosia-Budaya ASEAN ternyata tidak sepenuhnya memperjuangkan suatu masyarakat yang berorientasi sepenuhnya pada manusia. Masyarakat Sosial-Budaya ini dirumuskan untuk mendukung pembangunan ekonomi ASEAN: penyediaan manusia yang terampil dengan mengembangkan pendidikan, pengembangan kesehatan masyaraka, perbaikan system pendidikan untuk “membangun angkatan kerja yang lebih kompetitif”. Dalam menyusun Masyarakat Sosial-Budaya, ASEAN lebih banyak terpaku pada bagaimana mengembalikan tingkat pertumbuhan ekonomi Negara-negara ASEAN ke tingkat sebelum krisis keuangan dan ekonomi tahun 1997. ASEAN lebih terobsesi pada unsur-unsur dan sasaran-sasaran Masyarakat Ekonomi ASEAN, sehingga terkesan melupakan pembangunan A community of Caring Societies.
Melihat uraian mengenai tiga pilar yang menjadi landasan komunitas ASEAN, maka dapat kita lihat bahwa pada pilar Masyarakat Keamanan ASEAN menekankan pada keamanan ASEAN dan pembentukan norma-norama politik bagi Negara-negara anggota ASEAN. Pada pilar Masyarakat Ekonomi ASEAN menekankan pada pembentukan pasar tunggal dimana setiap warga Negara anggota ASEAN mempunyai kesempatan untuk bekerja atau membuka usaha di wilayah ASEAN mana pun. Pada Masyarakat Sosial-Budaya ASEAN terbentuknya hubungan tolong-menolong antar anggota ASEAN, terutama dalam hal lingkungan hidup, penanganan bencana, kesehatan, IPTEK, tenaga kerja dan pengentasan kemiskinan.
Komunitas ASEAN tersebut akan ditandai dengan semakin besarnya tiga hal. Pertama, interaksi bidang politik dan keamanan. Kedua, adanya pasar tunggal dan basis produksi dengan aliran bebas barang, jasa, modal dan orang. Dan ketiga, terwujudnya masyarakat yang lebih peduli dan berbagi, yang menitikberatkan pada pembangunan social, pendidikan dan pengembangan SDM, kesehatan masyarakat, kebidayan dan informasi, dan perlindungan.

ORGANISASI REGIONAL: LIGA ARAB (LEAGUE OF ARAB STATES)



Liga Arab adalah organisasi regional yang terdiri dari negara-negara Arab yang terdapat di wilayah Asia Barat, Asia utara dan Afrika Timur Laut. Organisasi ini dibentuk pada tanggal 22 Maret 1945 oleh Negara Mesir, Irak, Transjordan (Yordania pada tahun 1946), Libanon Arab Saudi, dan Suriah, kemudian diikuti oleh Yaman yang bergabung pada tanggal 5 Mei 1945. sampai sekarang ini markas Liga Arab berada di Kairo, Mesir. Tujuan utama dari liga Arab ini adalah untuk mendekatkan hubungan antara Negara-negara anggota dan koordinasi kerjasama di antara mereka, untuk menjaga kemerdekaan dan kedaulatan mereka, dan mempertimbangkan secara umum urusan dan kepentingan Negara-negara Arab.
Dalam piagam Liga Arab dinyatakan bahwa Liga Arab bertugas mengkoordinasikan kegiatan ekonomi, termasuk hubungan niaga; komunikasi; kegiatan kebudayaan; kewarganegaraan, parpor dan visa; kegiatan social; dan kegitan kesehatan. Dalam piagam Arab ini juga melarang para anggota untuk menggunakan kekerasan terhadap satu sama lain.
Hingga saat ini Liga Arab memiliki 22 anggota dan ada 3 negara yang menjadi Negara pemantau atau Negara pengamat. Negara-negara anggotanya antara lain :
Mesir, Irak, Yordania, Libanon, Arab Saudi, Suriah (22 September 1945)
Yaman (5 Mei 1945)
Libya (28 Maret 1953)
Sudan ( 19 Januari 1956)
Maroko, Tunisia ( 1 Oktober 1958)
Kuwait (20 Juli 1961)
Aljazair (16 Agustus 1962)
Uni Emirat Arab (12 Juni 1971)
Bahrain, Qatar (11 September 1971)
Oman (29 September 1971)
Mauritania (26 November 1973)
Somalia (14 Februari 1974)
Palestina (9 Septmber 1976)
Djibouti (9 April 1977)
Komoro (20 November 1993)
Negara pemantau (observer country) di sini berperan sebagai pihak pengamat atau pemerhati terhadap semua kegiatan liga dengan tujuan untuk menjaga independensi liga. Sebuah observer country tidak memiliki hak dan kewajiban sebagaimana yang dimiliki oleh Negara anggota. Sejauh ini ada 3 negara pemantau, yaitu:
Eritrea, yang bergabung pada tanggal 6 Januari 2003, kemudian pada tahun 2006, Venezuela juga bergabung menjadi Negara pemantau dan yang terakhir yaitu India yang menjadi Negara pemantau pada tahun 2007.

Sejarah dan Perkembangan Liga Arab

Sejarah Liga Arab dimulai ketika Kerajaan Inggris Raya menyadari pentingnya persatuan diantara negara-negara Arab (Pan Arabia) di awal abad ke 20. Kerajaan Inggris jugalah yang mendorong dan menjamin kerjasama diantara negara-negara Arab, yang sebenarnya tujuan utamanya ialah untuk memimpin pemberontakan mereka melawan Kekaisaraan Ottoman Turki selama Perang Dunia I. Inggris menjanjikan untuk membantu Arab membangun sebuah persatuan Kerajaan Arab dibawah kekuasaan Sherif Hussein di Mekah yang kekuasaannya akan menjangkau seluruh dunia Arab (sekarang lebih dikenal sebagai Jazirah Arab, Irak, Suriah, Libanon, Palestina, Israel dan Yordania). Setelah memenangkan peperangan, Inggris mengkhianati Sharif Hussein dan selanjutnya membagi wilayah Arab menjadi negara-negara bagian kecil dan menerapkan kebijakan “Devide and Rule”.
Ketika meletus Perang Dunia II, Inggris sekali lagi membutuhkan bantuan Arab dan menyebarkan paham Arabisme dengan janji akan membentuk formasi awal Liga Arab. Akan tetapi, kebanyakan intelektual Arab percaya bahwa sebenarnya Inggris tidak ingin membentuk Liga Arab demi persatuan Arab, sebaliknya ingin menggunakan organisasi tersebut untuk mencegah persatuan negara-negara Timur Tengah. (One.indoskripsi.com diakses tanggal 13 Oktober 2009)

Melihat kenyataan itu, pemerintah Mesir mengajukan sebuah proposal untuk pembentukan sebuah organisasi yang nyata pada tahun 1943. Mesir dan beberapa negara Arab lainnya sebenarnya ingin sebuah kerjasama yang lebih erat tanpa kehilangan kedaulatan negaranya. Perjanjian asli dari Liga Arab adalah membentuk sebuah organisasi regional yang terdiri dari negara-negara yang berdaulat, tanpa memperdulikan bentuk negara tersebut yaitu negara persatuan atau negara federal. Diantara tujuan-tujuan Liga Arab adalah memperjuangkan kemerdekaan penuh untuk semua negara-negara Arab dan untuk mencegah kaum Yahudi di Palestina. kemudian terbentuklah Liga Arab yang dikenal saat ini, yang dibentuk didasarkan atas Pact of The League of Arab States (Pakta Liga Arab), dan menjadi sebuah konstitusi dasar bagi organisasi Liga Arab.
Anggota dari Liga Arab ini pun terus bertambah hingga mencapai 22 anggota dan memiliki 3 negara pemantau. Namun pada tahun 1979, keanggotaan Mesir dalam Liga Arab dicabut karena Mesir terbukti menandatangani Perjanjian Damai dengan Israel. Dan kantor pusat Liga Arab pun yang sebelumnya berkedudukan di Kairo, Mesir dipindahkan ke Tunis, Tunisia. Akhirnya delapan tahun kemudian, yakni pada tahun 1987 para pemimpin dunia Arab memutuskan untuk memperbaharui kembali hubungan diplomatic dengan Mesir dan pada tahun 1989 Mesir diterima kembali menjadi anggota Liga Arab, selain itu, kantor pusat Liga Arab juga dikembalikan ke Kairo, Mesir.
Dari awal pembentukan Liga Arab hingga kini sudah ada 6 Sekretaris Jenderal yang menjabat. Nama-nama Sekretaris jenderal ini dapat dilihat di bawah ini.

1. Abdul Rahman Hassan Azzam (Mesir, 1945-1952)
2. Abdul Khlek Hassouna ( Mesir, 1952-1972)
3. Mahmoud Riad (Mesir, 1972-1979)
4. Chedi Klibi (Tunisia, 1979-1990)
5. Dr. Ahmad Esmat Abdal Meguid (Mesir, 1991-2001)
6. Amr Mousa (Mesir, 2001-hingga kini)

Selama perjalanannya, Liga Arab telah melaksanakan Konferensi Tingkat Tinggi Liga (Summit Conference) paling tidak sebanyak 31 kali. Dimana konferensi pertama dilakukan di Kairo, Mesir pada tanggal 13-17 Januari 1964. dan konferensi terakhir dilakukan di Doha, pada tanggal 28-30 Maret 2009. kemudian merencanakan konferensi selanjutnya pada tanggal 30 Maret-1 April 2010. konferensi ini dilaksanakan jika ada suatu masalah yan timbul dan perlu dibahas secra lebih lanjut.
Seiring perkembangan zaman, Liga Arab dijadikan media bagi penyusunan hampir semua dokumen-dokumen penting Arab yang mendukung integritas ekonomi diantara Negara anggota, yaitu pembentukan Perjanjian Pelaksanaan Kerjasama Ekonomi Arab (Joint Arab Economic Action Charter). Liga Arab telah menjalani banyak kemajuan dan kemunduran dalam menjalankan fungsi dan tujuannya. Semua itu tidak terlepas dari gejolak yang terjadi di kawasan Arab dan Timur Tengah. Seperti misalnya Amerika Serikat yang menginvasi Palestina kemudian dilanjutkan dengan Irak.Liga Arab sebagai organisasi regional telah terbukti gagal mengakomodasi masalah tersebut. Liga tidak dapat menghentikan invansi Amerika, meredam gejolak antar negara anggota dan mempersatukan semua negara di kawasan Timur Tengah. Perbedaan orientasi politik dan kepentingan anggota bisa jadi merupakan salah satu penyebab gagalnya Liga Arab. Keberadaan sebuah negara Israel juga telah menjadi batu sandungan bagi perdamaian negara anggota. Sampai sekarang konflik Israel-Palestina belum menemui jalan terang. Amerika Serikat yang konon menjadi musuh kedua bagi negara anggota, justru adalah pihak yang banyak berperan aktif dalam mendamaikan kedua negara tersebut.
Selain mengalami kegagalan, Liga Arab juga menuai banyak kemajuan dan keberhasilan. Diantaranya Liga Arab dikenal berhasil dan efektif dalam menjalin dan memelihara kerjasama dibidang ekonomi, sosial dan kebudayaan diantara negara anggota. Dalam bidang pendidikan, Liga berperan besar dalam menyusun kurikulum sekolah negara-negara Arab, melestarikan dokumen-dokumen dan hasil kebudayaan kuno dan berhasil juga menerapkan teknologi modern dalam berbagai bidang. Dan menciptakan persatuan telekomunikasi regional.


Perbandingan Liga Arab dengan Organisasi Lainnya.
Organisasi Liga Arab ini sedikit berbeda dengan Organisasi regional lainnya. Di mana organisasi ini dibentuk bukan hanya berdasarkan letak wilayah tertentu, tetapi lebih pada persamaan kebudayaan dan agama (Islam). Apabila dibandingkan dengan Uni Eropa, Liga Arab belum berhasil mencapai suatu derajat peningkatan integrasi regional dan organisasi ini juga tidak mempunyai hubungan langsung dengan warga Negara-negara anggotanya.
Organisasi ini hampir sama dengan organisasi Uni Latin (Latin Union). Apabila melihat dari tujuannya, organisasi ini hampir sama dengan Organisasi Negara-Negara Amerika (Organization of American States), Dewan Eropa (Council Of Europe) dan Uni Afrika ( African Union) yaitu tujuannya politik. Namun ada salah satu hal unik yang membedakan dengan organisasi lainnya, dimana organisasi ini mempunyai peranan dalam menentukan kurikulum sekolah dan pelestarian sejarah kebudayaan Arab. Dan yang menarik dari organisasi ini yaitu semua anggota dari Liga Arab juga termasuk ke dalam organisasi Konferensi Islam (Organization of the Islamic Conference). Organisasi ini dilandasi oleh prinsip pendukungan dan memajukan nasionalisme persatuan Arab dan menjaga keseimbangan Negara-negara Arab dalam beberapa hal. Hal ini sama seperti yang dilakukan oleh Uni Afrika.

Apabila melihat sejarah, perkembangan dan perbandingan liga Arab dengan Organisasi lain, dapat dilihat bahwa organisasi Liga Arab ini merupakan organisasi yang cukup bermanfaat. Meskipun dalam bentuknya Liga Arab masih belum dikatakan sempurna. Organisasi ini kurang memiliki kepaduan politik yang diperlukan untuk pengembangan cepat dalam tingkat koodinasi yang lebih luas ataupun untuk mewujudkan integrasi pada taraf yang sekarang ini


Sumber

http://one.indoskripsi.com/node/2651
http://id.wikipedia.org/wiki/Liga_Arab
http://en.wikipedia.org/wiki/Arab_League

POLITIK LUAR NEGERI MALAYSIA TERHADAP REGIONALISME DI ASEAN



Politik luar negeri Negara-negara anggota ASEAN, misalnya Malaysia, tidak dapat dipisahkan dari dinamika hubungan antara faktor-faktor domestik seperti politik, sosial, budaya, ekonomi dan militer menentukan persepsi para pengambil keputusan luar negeri pada satu sisi. Untuk itu, agar dapat memahami mengenai politik luar negeri Malaysia, terlebih dahulu kita pahami mengenai keadaan Malaysia terlebih dahulu, misalnya saja system politik Malaysia, system pemerintahan, bentuk pemerintahan dan bentuk Negara Malaysia, karena hal ini juga dapat mempengaruhi politik luar negeri Malaysia.
Malaysia merupakan Negara yang berbentuk federasi. Dimana Malaysia terdiri dari tiga belas negara bagian dan tiga wilayah persekutuan yaitu persekutuan Kuala Lumpur, Labuan Island dan Putrajaya sebagai wilayah administratif federal. Setiap Negara bagian memiliki majelis, dan pemerintah negara bagian dipimpin oleh kepala menteri (chief minister) dimana kepala menteri di tiap negara bagian diangkat oleh majelis negara bagian.
Dalam Negara federal seperti Malaysia maka ada kekuasaan federal dan ada kekuasaan Negara bagian. Soal-soal yang menyangkut negra dalam keseluruhannya diserahkan kepada kekuasaan federal. Dalam hal tertentu misalnya mengadakan perjanjian internasional atau mencetak uang, pemerintah federal bebas dari Negara bagian dan dalam bidang itupemerintah federal mempunyai kekusaan yang tertinggi. Tetapi, untuk soal yang menyangkut Negara bagian belaka dan tidak termasuk kepentingan nasional, diserahkan kepada kekuasaan Negara-negara bagian. Jadi, dalam soal-soal semacam itu pemerintah Negara bagian bebas dari pemerintah federal misalnya, soal kebudayaan, kesehatan pendidikan .
Bentuk pemerintahan Malaysia adalah monarki konstitusional, yaitu berupa Negara kerajaan yang diatur oleh konstitusional. Dimana kepala negaranya merupakan seorang raja yang disebut dengan Yang di-Pertuan Agong (Raja Malaysia). Yang di-Pertuan Agong dipilih dari dan oleh sembilan Sultan Negeri-Negeri Malaya, untuk menjabat selama lima tahun secara bergiliran; empat pemimpin negeri lainnya, yang bergelar Gubernur, tidak turut serta di dalam pemilihan .
Sistem pemerintahan yang dianut oleh Malaysia adalah system parlementer. Sistem parlementer yang dipakai oleh Malaysia bermodelkan sistem parlementer Westminster, yang merupakan warisan Penguasa Kolonial Britania. Tetapi apabila melihat prakteknya , kekuasaan lebih terpusat di eksekutif daripada di legislatif, dan judikatif diperlemah oleh tekanan berkelanjutan dari pemerintah selama zaman Mahathir, kekuasaan judikatif itu dibagikan antara pemerintah persekutuan dan pemerintah negara bagian. Dalam system pemerintahan Malaysia yang menjadi kepala pemerintahan adalah seorang perdana menteri.
Sistem politik Malaysia dapat dikatakan demokrasi, hal ini dapat dilihat dari adanya pembagian kekuasaan dan adanya pelaksanaan pemilu meskipun kalau dilihat lebih dalam tidak begitu demokratis karena tidak jurdil. Di Malaysia, seperti kebanyakan Negara lainnya kekuasaan Negara terdiri dari badan eksekutif, legislatif dan yudikatif.
Kekuasaan eksekutif dilaksanakan oleh kabinet yang dipimpin oleh perdana menteri; konstitusi Malaysia menetapkan bahwa perdana menteri haruslah anggota dewan rendah (Dewan Rakyat), yang direstui Yang di-Pertuan Agong dan mendapat dukungan majoritas di dalam parlemen. Kabinet dipilih dari para anggota Dewan Rakyat dan Dewan Negara dan bertanggung jawab kepada badan itu.; sedangkan kabinet merupakan anggota parlemen yang dipilih dari Dewan Rakyat atau Dewan Negara.
Dalam kekuasaan legislative Malaysia memiliki sistem bikameral yang terdiri dari Senat (Dewan Negara) dan House of Representatives (Dewan Rakyat). Senat menguasai 70 kursi di parlemen sementara HoR menguasai 219 kursi. 44 anggota Senat ditunjuk oleh pemimpin tertinggi sementara 26 lainnya ditunjuk oleh badan pembuat UU di negara bagian. Anggota HoR dipilih melalui popular vote untuk masa jabatan selama 5 tahun.
Dalam hal kekuasaan Yudikatif, sistem hukum di Malaysia berdasar pada hukum Inggris dan kebanyakan UU serta konstitusi diadaptasi dari hukum India. Di Malaysia terdapat Federal Court, Court of Appeals, High Courts, Session's Courts, Magistrate's courts dan Juvenile Courts. Hakim Pengadilan Federal ditunjuk oleh pemimpin tertinggi dengan nasehat PM. Pemerintah federal memiliki kekuasaan atas hubungan luar negeri, pertahanan, keamanan dalam negeri, keadilan, kewarganegaraan federal, urusan keuangan, urusan perdagangan, industri, komunikasi serta transportasi dan beberapa urusan lain .
Pemilihan umum parlemen Malaysia dilakukan paling sedikit lima tahun sekali, dengan pemilihan umum terakhir pada Maret 2008. Pemilih terdaftar berusia 21 tahun ke atas dapat memberikan suaranya kepada calon anggota Dewan Rakyat dan calon anggota dewan legislatif negara bagian juga, di beberapa negara bagian. Voting tidak diwajibkan. Malaysia menganut sistem multipartai. Seperti Indonesia, banyak sekali partai politik di Malaysia, sekitar 33 parpol. Namun, berbeda dengan Indonesia, pemilu hanya diikuti dua kontestan, yaitu parpol yang tergabung dalam Barisan Nasional (BN) dan parpol yang tergabung dalam Barisan Alternatif (BA).
BN adalah koalisi partai penguasa yang ditulangpunggungi UMNO (United Malays National Organization), MCA (Malaysian Chinese Association), dan MIC (Malaysian India Congress), serta sebelas partai pendukung lainnya.
Ada pun BA adalah kumpulan partai oposisi yang dipimpin PAS (Partai Islam se-Malaysia), PKR (Partai Keadilan Rakyat), DAP (Democratic Action Party), dan 16 partai pendukung lainnya.
Di Malaysia, yang menganut sistem parlementer, pelaksanaan pemilu bisa disederhanakan sedemikian rupa sehingga memudahkan pemilih dalam menentukan pilihan. Partai-partai dengan latar belakang ras dan ideologi yang beragam itu bertarung dalam dua bendera koalisi, yang dijalin sebelum dan sesudah pemilu, serta dilakukan secara permanen.
Kerangka konstitusional sistem politik Malaysia memang bersifat demokratis. Namun, kerangka demokratis itu disertai kontrol otoritarian yang luas untuk menyumbat oposisi yang efektif. Karena itu, sulit dibayangkan partai pemerintah bisa kalah. Sejak awal, sistem politik Malaysia merupakan campuran dari karakteristik responsif dan represif. Sistem pemilu Malaysia juga tidak jurdil. Sistem dirancang untuk cenderung menguntungkan partai pemerintah sehingga hampir mustahil ia dapat dikalahkan.
Dalam setiap pemilu, BN selalu memenangkan sekitar 3/5 suara dan menguasai mayoritas kursi di parlemen. Bahkan, dalam Pemilu 1990 dan 1999, ketika UMNO dilanda perpecahan serius dan BN dalam tekanan politis yang kuat oleh gerakan reformasi, oposisi tetap kalah.
Pada Pemilu 2004, kemenangan BN lebih mencolok lagi. BN merebut 199 kursi atau 90 persen dari 222 kursi parlemen dan mengontrol 13 DUN (Dewan Undangan Negeri) dari 14 negara bagian, kecuali Kelantan yang dikuasai PAS. Negara Bagian Trengganu yang jatuh ke tangan PAS pada Pemilu 1999 juga berhasil direbut kembali oleh BN .
Dengan demikian, pemilu pada praktiknya tidak bisa mengganti pemerintahan, tetapi hanya memaksa pemerintah untuk lebih responsif. Pemilu Malaysia hanyalah casting suara dari ritual rutin empat atau lima tahun sekali untuk memperbarui sampul legitimasi pemerintahan otoritarian. Cara-cara UMNO memenangkan pemilu masih sama dengan cara hegemonik Golkar pada era Orde Baru di Indonesia.
Dengan memahami kedaan Negara Malaysia mulai dari bentuk Negara, bentuk pemerintahan, sistem pemerintahan dan sistem politik seperti yang telah dijelaskan di atas, akan dapat membantu memahami mengenai politik luar negeri Malaysia, terutama politik luar negeri Malaysia terhadap regionalisme ASEAN.

Politik Luar Negeri Malaysia Terhadap Regionalisme di ASEAN
Sebagai Negara jajahan Inggris, Malaysia mengembangkan politik luar negeri yang sesuai dengan kondisi Negara yang sedang dalam proses pembentukan bangsa. Politik luar negeri Malaysia refleksi dan ekspresi dari dinamika faktor-faktor domestik dan internasional. Di tingkat domestik, pemerintah Malaysia menjadikan ketenangan dan stabilitas politik sebagai ukuran tercapainya keamanan domestik. Sementara di tingkat internasional, pemerintah Malaysia menjadikan kemampuan untuk mengendalikan ancaman regional maupun global sebagai ukurannya .
Bagaimana politik luar negeri Malaysia terhadap regionalisme di ASEAN? Apakah Malaysia sudah siap terhadap regionalisme di ASEAN?
Apabila kita lihat dari segi ekonomi, Malaysia sepertinya siap untuk regionalisme ASEAN. Seperti yang diketahui, di bawah Mahatir, Malaysia memasuki era kemajuan ekonomi dan politik jauh melampaui masa sebelumnya. Hingga sekarang Malaysia dan juga Singapura merupakan Negara yang lebih maju dibandingkan Negara anggota ASEAN lainnya. Tetapi, apabila kita lihat dari segi hubungannya dengan Negara anggota lain, sepertinya Malaysia belum bisa dikatakan siap. Seperti yang sudah diketahui, Malaysia memiliki hubungan yang kurang baik dengan Negara anggota lainnya, Malaysia-Indonesia misalnya, awal tahun 2005 sempat “hangat” karena persoalan tumpang tindih klaim atas wilayah perairan di sekitar laut sulawesi yang kita kenal dengan wilayah Ambalat, bahkan sampai sekarang permasalahan tersebut belum jelas penyelesaiannya. Selain itu hubungan kurang baik yang lainnya yaitu antara Malaysia-Thailand yang saling “berperang” pernyataan terkait dengan persoalan di Thailand selatan. Dalam dua kasus tersebut, kesan terjadinya ketegangan justru lebih dirasakan di kalangan masyarakat ketimbang di kalangan pejabat pemerintah .
Permasalahan dan hubungan kurang baik dengan Negara anggota ASEAN lainnya akan dapat menghambat terlaksananya regionalisme ASEAN, visi ASEAN 2015 yang dikenal dengan ASEAN Community, di mana dalam pengimplementasiannya, pada tahun 2015 nanti, tidak akan ada lagi yang dikenal sebagai rakyat Malaysia, rakyat Indonesia atau rakyat Singapura, yang ada hanya rakyat ASEAN, masyarakat ASEAN dalam satu wilayah ASEAN dengan wajah komunitas ASEAN . Dimana dituntut hubungan baik antar Negara anggota, terutama kalangan masyarakatnya agar dapat membantu terwujudnya ASEAN Community.
Namun yang menjadi pertanyaan adalah apakah Malaysia mau dan mampu mereduksi keegoisan kepentingan nasionalnya? Atau apakah Malaysia yang merupakan Negara yang memiliki perekonomian yang maju mau untuk menurunkan dan membagi sedikit kekayaannya untuk negara anggota yang lebih miskin?
Apabila Malaysia dapat menjawab “YA” politik luar negeri Malaysia benar-benar siap terhadap regionalisme di ASEAN yang dikenal dengan ASEAN Community.























SUMBER :
Budiardjo, Mirriam.2008. Dasar-dasar Ilmu Politik. Jakarta : PT. Gramedia Pustaka Utama.
Cipto, Bambang, Dr,MA.2007. Hubungan Internasional di Asia Tenggara. Yogyakarta : Pustaka Pelajar.
Luhulima, CPF. 2008. Masyarakat Asia Tenggara Menuju Komunitas ASEAN 2015. Yogyakarta : Pustaka Pelajar.

Website :
http://id.wikipedia.org/wiki/Malaysia
http://technology-informasi.blogspot.com/2009/04/sistem-politik-malaysia.html
http://www.gp-ansor.org/?p=4369
http://rumahmercusuar.blogspot.com/2009/05/regionalisasi-di-kawasan-asia-tenggara.html