Senin, 15 Maret 2010

Partisipasi Politik Perempuan Pada Masa Pasca Kemerdekaan Indonesia

oleh : Nolly Rodus V.T.C Telaumbanua
Teger Prananda Bangun
Vellayati Hajad
Irfan Maulana
Yanoman F. purba
(Mahasiswa departemen Ilmu politik,Fisip USU)



BAB. I
PENDAHULUAN

A. LATAR BELAKANG.

Bangsa yang besar adalah bangsa yang selalu mengenang jasa para pahlawannya, selain itu juga sangat melindungi dan melestarikan budayanya, termasuk adat-istiadat bangsanya. Hal ini merupakan modal berharga bagi upaya pemantapan ketahanan mental spiritual dalam menghadapi pengaruh negatif yang dibawa oleh arus globalisasi yang terjadi pada saat ini. Apabila tidak kita waspadai, bukan tidak mungkin bahwa hal itu akan bisa menimbulkan erosi terhadap budaya bangsa kita.
Sejak Kebangkitan Nasional tahun 1908 sampai saat ini. Perempuan merupakan bagian dari bangsa Indonesia yang sejak dahulu kala berkiprah dalam berbagai bidang kehidupan. Karena itu, kita tidak boleh melupakan peranan perempuan Indonesia sebagai bagian dari perjuangan bangsa ini.
Perempuan Indonesia memiliki peranan dan kedudukan sangat penting sepanjang perjalanan sejarah. Kiprah perempuan di atas panggung sejarah tidak diragukan lagi. Gerakan kebangkitan nasional berhubungan dengan politik etis Hindia-Belanda yang memberi kesempatan bagi para pribumi untuk bersekolah. Sebenarnya maksud pemerintah Hindia-Belanda adalah untuk menghasilkan buruh-buruh terdidik, guru-guru, birokrat rendahan yang cukup terdidik, dokter-dokter yang mampu menangani penyakit menular pada bangsa pribumi/dan kaum kolonial khususnya. Tindakan ini dilakukan karena Hindia-Belanda harus menekan biaya operasional tanah jajahan (Indonesia) yang terlalu mahal bila menggunakan tenaga impor dari Belanda.
Meskipun yang diizinkan memasuki sekolah Belanda saat itu hanyalah kaum bangsawan, priyayi, dan kaum elite, ternyata para pemuda pribumi kemudian berbondong-bondong memasuki Sekolah Rakyat, HIS, MULO dan HBS, hingga sekolah dokter (STOVIA), dan sekolah guru (Kweekschool). Dengan bersekolah mereka mampu membaca buku-buku berbahasa Belanda dan Inggris. Buku-buku ini membuka mata dan hati pelajar dan mahasiswa tentang perjuangan pembebasan nasional di seluruh negeri di bumi ini. Dibukanya sekolah-sekolah Belanda untuk elite pribumi dan para ningrat, telah menghasilkan sekumpulan orang-orang muda berpendidikan Barat yang kelak menjadi tulang punggung gerakan pembebasan nasional.
Pencerahan dalam dunia pendidikan tersebut menggugah orang-orang muda untuk berkumpul, berbicara, berdiskusi dan menentukan. Tahun 1908 lahirlah organisasi yang dinamakan Budi Utomo. Sebelum Budi Utomo berdiri, telah lahir seorang pejuang perempuan, yaitu R.A. Kartini (1879-1904). Beliau adalah pelopor dan pendahulu perjuangan untuk pendidikan perempuan dan persamaan hak perempuan. Kartini berpendapat bahwa bila perempuan ingin maju dan mandiri, maka perempuan harus mendapat pendidikan. Kartini selama ini kita kenal sebagai seorang pejuang emansipasi perempuan, terutama di bidang pendidikan. Kartinilah yang membangun pola pikir kemajuan, dengan cara menggugah kesadaran orang-orang sejamannya, bahwa kaum perempuan harus bersekolah. Tidak hanya di Sekolah Rendah, melainkan harus dapat meneruskan ke sekolah yang lebih tinggi, sejajar dengan saudara-saudaranya yang laki-laki.
Gagasan-gagasan brilian dari Kartini tersebut kemudian diikuti oleh beberapa tokoh perempuan lainnya, seperti Raden Dewi Sartika yang mendirikan Sekolah Keutamaan Isteri di Bandung dan Rohanna Kudus yang mendirikan perusahaan penerbitan koran Soenting Malajoe. Namun Kartini sendiri tetap sebagai Sang Penggedor. Beliau adalah simbol gerakan perempuan Indonesia yang mengawali seluruh tradisi dan intelektual gerakan perempuan Indonesia, berikut gagasan paling awal dalam melihat ketertindasan rakyat di bawah feodalisme dan kapitalisme.
Setelah kebangkitan nasional, perjuangan perempuan semakin terorganisir. Seiring dengan terbentuknya berbagai organisasi nasional atau pun partai politik, maka pergerakan perempuan pun mulai terbentuk, baik sebagai sayap atau bagian dari organisasi perempuan yang sudah ada, atau pun membentuk wadah organisasi perempuan tersendiri yang dilaksanakan oleh perjuangan perempuan di satu sektor atau tingkat tertentu. Di sisi lain, perkembangan gerakan berbasiskan agama, seperti Muhammadiyah, turut pula membentuk polarisasi dalam gerakan perempuan, yaitu Aisyiah. Berbagai karya jurnalisme pun bertebaran, bukan hanya dalam Bahasa Belanda, melainkan terutama dalam bahasa Melayu. Sejalan dengan itu, kiprah sejumlah sastrawati mulai muncul ke permukaan. Gairah nasionalisme tengah mencari jalan untuk memodernisasikan dirinya. Gerakan perempuan pun terus berkembang dan menyesuaikan dinamikanya dengan perkembangan perjuangan bangsa Indonesia. Nasionalisme menjadi gagasan yang diterima di seluruh kekuatan politik yang ada, sehingga konsepsi persatuan menjadi lebih mudah untuk diwujudkan.




B. RUMUSAN MASALAH.
Dalam makalah kami ini, ada beberapa pokok pertanyaan yang mendasar yang kami coba untuk memaparkannya antara lain :
A. Seperti apakah kondisi pergerakan perempuan Indonesia terkhusus pasca kemerdekaan?
B. Bagaimana keterlibatan perempuan Indonesia dalam perjuangan bangsa Indonesia memperjuangkan dan mempertahankan integritas nasional terutama dalam perpolitikan Indonesia dan gerakan-gerakan sosial budaya setelah kemerdekaan?
C. Dan seberapa pentingkah peranan perempuan Indonesia bagi persatuan bangsa Indonesia?

BAB. II
PEMBAHASAN


A. AWAL PERGERAKAN PEREMPUAN INDONESIA.


Kebijakan politik etis telah membangkitkan semangat di kalangan kaum perempuan untuk bergerak dan berjuang mendapatkan persamaan hak pendidikan bagi perempuan. Buah dari semangat ini, berdirilah Poetri Mardika (1912), salah satu organisasi perempuan yang kelahirannya memang mendapat dukungan dari Boedi Oetomo (organisasi laki-laki). Dalam perkembangannya, Poetri Mardika pernah mengajukan mosi kepada Gubernur Jenderal pada tahun 1915 agar perempuan dan laki-laki diperlakukan sama di muka hukum.
Setelah itu, berdiri banyak perkumpulan perempuan baik yang didukung oleh organisasi laki-laki maupun yang terbentuk secara mandiri oleh perempuan sendiri misalnya, Pawiyatan Wanito (Magelang, 1915), Percintaan Ibu Kepada Anak Temurun—PIKAT (Manado, 1917), Purborini (Tegal, 1917), Aisyiyah atas bantuan Muhammadiyah (Yogyakarta, 1917), Wanito Soesilo (Pemalang, 1918), Wanito Hadi (Jepara, 1919), Poteri Boedi Sedjati (Surabaya, 1919), Wanito Oetomo dan Wanito Moeljo (Yogyakarta, 1920), Serikat Kaoem Iboe Soematra (Bukit Tinggi, 1920), Wanito Katolik (Yogyakarta, 1924). (Sukanti Suryochondro: 1995). Dalam catatan sejarah, hampir setiap organisasi perempuan ini menerbitkan majalah mereka sendiri sebagai media untuk membentuk opini publik sehingga gagasan-gagasan mereka terkomunikasikan ke dalam masyarakat luas.
Secara umum sifat tujuan organisasi tersebut adalah sosial dan kultural, memperjuangkan nilai-nilai baru dalam kehidupan keluarga dan masyarakat, mempertahankan ekspresi kebudayaan asli melawan aspek-aspek kebudayaan Barat yang tidak sesuai. Hampir tidak ada sumber yang bisa dilacak kegiatan politik macam apa, kecuali catatan-catatan yang lebih menunjukkan pada kegiatan-kegiatan sosial-budaya.
Gerakan nasionalisme juga berkobar di kalangan organisasi perempuan, dan pada tanggal 22 Desember 1928, diadakan Kongres Perempuan Indonesia I di Yogyakarta. Kongres ini melahirkan semacam federasi organisasi perempuan dengan nama Perikatan Perkumpulan Perempuan Indonesia (PPPI) dan pada tahun 1929, setahun setelah terbentuknya, diganti menjadi Perikatan Perkumpulan Istri Indonesia (PPII). Pada awal berdirinya, upaya-upaya yang dilakukan adalah perhatian pada lingkungan keluarga dan masyarakat, kedudukan perempuan dalam hukum perkawinan (Islam), pendidikan dan perlindungan anak-anak, pendidikan kaum perempuan, perempuan dalam perkawinan, mencegah perkawinan anak-anak, nasib yatim piatu dan janda, pentingnya peningkatan harga diri perempuan, dan kejahatan kawin paksa. Perhatian ini meluas, misalnya pada tahun 1935 dibentuk Badan Penyelidikan Perburuhan Kaum Perempuan, salah satunya rapat umum untuk perempuan buruh batik di Lasem Jawa Tengah, membentuk Badan Pemberantasan Buta Huruf, Badan Pemberantasan Perdagangan Perempuan dan Anak-anak.
Setelah Kongres Perempuan Indonesia tingkat nasional pertama, organisasi perempuan semakin berkembang, yang ditandai dengan makin banyaknya jenis gerakan perempuan dan semakin terbuka wawasannya. Pada periode sebelumnya, lingkup kegiatan hampir semua organisasi perempuan hanya meliputi masalah emansipasi dan usaha menjadikan perempuan lebih sempurna dalam menjalankan peran tradisionalnya sebagai perempuan. Pada periode ini mulai muncul organisasi-organisasi yang membuka wawasan perempuan melampaui lingkup rumah tangga dan keluarga. Organisasi-organisasi baru ini menjadikan masalah-masalah politik dan agama sebagai pokok perhatiannya. Padahal sebelumnya semua organisasi yang bergabung dalam PPPI (Perikatan Perkumpulan Perempuan Indonesia) menolak mencampuri urusan politik dan agama.

Dalam Kongres Perempuan II, Maret 1932, isu nasionalisme dan politik muncul, selain soal perdagangan peremuan, hak perempuan dan penelitian keadaan sanitasi di kampung serta tingginya angka kematian bayi. Ki Hajar Dewantara, dalam pidatonya mengatakan, sangat terkesan dengan perjuangan feminis di Turki, Cina, Persia, dan India, yang memberikan kontribusi sangat besar bagi suksesnya perjuangan nasional di negara mereka. Dua tahun sebelum Kongres II ini, pada tahun 1930, Suwarni Pringgodigdo, mendirikan organisasi perempuan yang aktif dalam perjuangan politik, yaitu Istri Sedar di Bandung dan menerbitkan jurnal Sedar. Perjuangan lain, adalah upaya gerakan perempuan untuk menentang poligami yang dipandang merugikan perempuan.

Pada Kongres Perempuan III, setelah melakukan pembubaran PPII, mulai dimunculkan isu tentang hak suara perempuan. Perempuan terus memperjuangkan hak politik atau keterwakilan perempuan, dengan memperjuangkan Maria Ulfa menjadi anggota Volksraad, meskipun gagal. Maria Ulfa kemudian terpilih menjadi menteri Sosial pada Kabinet Syahrir II (1946) dan S.K. Trimurti menjadi menteri Perburuhan pada Kabinet Amir Sjarifuddin (1947-1948). Pada pemilu 1955, gerakan perempuan Indonesia berhasil menempatkan perempuan sebagai anggota parlemen.
Pada zaman Pendudukan Bala Tentara Jepang (1942-1945), penjajah Jepang melarang semua bentuk organisasi, termasuk organisasi perempuan dan membubarkannya. Kemudian dibentuk organisasi-organisasi baru dengan dalih sebagai propaganda untuk kepentingan dan kemakmuran bangsa-bangsa Asia Timur Raya. Untuk organisasi perempuan yang dibentuk oleh para isteri pegawai di daerah-daerah, dan diketuai oleh isteri masing-masing kepala daerah, dan disebut Fujinkai. Kegiatan Fujinkai dibatasi hanya pada urusan-urusan keperempuanan dan peningkatan keterampilan domestik, selain kegiatan menghibur tentara yang sakit dan kursus buta huruf. Bagi para perempuan yang mempunyai wawasan luas, pembatasan ini merisaukan dan mereka tidak ikut masuk Fujinkai. Kenyataan ini menjadikan adanya dua jenis orientasi di kalangan aktivis perempuan, yaitu mereka yang berkooperasi dengan pemerintah bala tentara Dai Nippon dan yang non-kooperatif atau memilih bergerak diam-diam di bawah tanah.

B. PERGERAKAN PEREMPUAN PASCA KEMERDEKAAN INDONESIA.

Setelah kemerdekaan, organisasi perempuan kembali bergerak, akan tetapi karena pada awal kemerdekaan Negara Republik Indonesia masih diliputi oleh perjuangan mempertahankan kemerdekaan, maka perjuangan perempuan Indonesia adalah mendukung para pejuang dalam gerilya atau pertempuran. Pada tahun 1946, organisasi perempuan mulai tumbuh, baik sebagai organisasi yang baru maupun kebangkitan kembali yang telah ada. Gerakan perempuan pasca kemerdekaan (masa Soekarno) ini, di samping tetap memperjuangkan agenda-agenda, termasuk pasca pemberangusan di zaman Jepang, mereka terus memperjuangkan kesamaan politik, hak memperoleh pendidikan dan kesempatan bekerja. Persoalan yang dihadapi adalah tindakan diskriminatif antara laki-laki dan perempuan. Pada masa ini, meski demikian, hak politik yang sama setidaknya secara legal telah dijamin dalam pasal 27 UUD 45. Lalu lahir UU 80/1958, yang menjamin adanya prinsip pembayaran yang sama untuk pekerjaan yang sama, perempuan dan laki-laki tidak dibedakan dalam sistem penggajian.
Selanjutnya setelah di Indonesia diperbolehkan mendirikan partai politik, maka sejumlah perempuan masuk menjadi anggota partai politik, bahkan pada tahun 1948 sempat berdiri Partai Wanita Rakyat atas inisiatif Ibu Sri Mangunsarkoro di Yogyakarta. Partai ini berazaskan ke-Tuhan-an, kerakyatan, kebangsaan dan mempunyai program perjuangan yang sangat militan. Demikian juga dengan keputusan kongres Kowani pada tahun 1948 dan 1949, sangat sarat dengan muatan politis dan dengan semangat yang militan untuk mempertahankan kemerdekaan Indonesia. Sampai dengan tahun 1950, hasil politik yang dicapai kaum perempuan cukup banyak. Anggota Dewan Perwakilan Rakyat pun meningkat. Hal inilah yang memungkinkan perempuan untuk turut dalam pengambilan keputusan dan pembuatan undang-undang. Demikian juga di bidang eksekutif, pada tahun 1950 telah diangkat dua orang menteri perempuan, yaitu Ny. Maria Ulfah Santoso sebagai Menteri Sosial dan Ny. S.K. Trimurti sebagai Menteri Perburuhan.
Setelah tahun 1950, organisasi perempuan berkembang seiring dengan berkembangnya partai-partai di Indonesia. Banyak organisasi perempuan yang menjadi bagian perempuan dari suatu partai, seperti Wanita Marhaenis, Gerakan Wanita Sosial, Gerwani, dan lain-lain.
Ada pula partai yang bergerak dan merupakan bagian dari organisasi keagamaan, seperti Aisyiah, Wanita Katolik, selain itu juga organisasi perempuan yang berdiri sendiri tanpa ikatan dengan partai lain, seperti Perwari, dan banyak lagi organisasi perempuan yang bergerak di bidang sosial dan kesejahteraan masyarakat.
Pada tahun 1952, lahir organisasi yang menghimpun para isteri Kementerian Dalam Negeri yang sifatnya nonpolitik, namun tetap mengikuti perkembangan zaman. Selain dari isteri pegawai Departemen Dalam Negeri, masing-masing departemen juga membentuk perkumpulan isteri pegawainya, sehingga seluruhnya ada 19 organisasi isteri pegawai di masing-masing departemen, misalnya, Artha Kencana (Dep.Keuangan), Idhata (Dep. Pendidikan dan Kebudayaan), dan lain-lain.

C. PERANAN PEREMPUAN DALAM PERPOLITIKAN PASCA KEMERDEKAAN INDONESIA.

Bila kita membicarakan peran politik perempuan, kita tidak mengartikan politik secara sempit seperti melihat politik dalam kaca mata formal di bidang legislatif, eksekutif,dan yudikatif. Eksistansi politik terwujud dalam aspek kehidupan bersama dalam tingkat lokal, dan kepekaan terhadap permasalahan yang ada. Partisipasi perempuan dalam politik secara aktif, menyumbangkan pemikiran sampai kepekaan yang tinggi terhadap permasalahan politik yang sangatlah diperlukan.
Partisipasi politik menurut H. Mc Closky merupakan kegiatan sukarela dari warga negara melalui mana mereka mengambil bagian dalam proses pemilihan penguasa secara langsung atau tidak langsung dalam proses pembentukan kebijakan umum (M. Budiardjo, 2008, Hal 367).
Ada alasan yang penting bagi perempuan untuk berpartisipasi dalam politik, yaitu:
1. Perempuan memiliki pengalaman khusus yang dipahami dan dirasakan oleh perempuan. Seperti isu diskriminasi, marginalisasi, kesehatan reproduksi, isu kekerasan dalam rumah tangga, isu kekerasan perempuan dan lain-lain.

2. Partisipasi perempuan diharapkan dapat mencagah kondisi yang tidak menguntungkan perempuan dalam mengatasi permasalahan stereotipe terhadap perempuan, diskriminasi di bidang hukum, kehidupan sosial dan kerja, marginalisasi di dunia karir, dan eksploitasi yang terjadi pada perempuan.

3. Partisipasi perempuan dalam pengambilan keputusan politik dapat berpengaruh pada pengambilan keputusan politik yang mengutamakan perdamaian. Politik perempuan diharapkan membawa nilai-nilai penyeimbang yang mengatasi perkelahian dengan solusi berembuk, mengubah kompetisi menjadi kerjasama.

Partisipasi politik perempuan sangat dibutuhkan dalam upaya pengintegrasian kebutuhan gender dalam berbagai kebijakan publik dan menggolkan instrumen hukum yang sensitif gender yang selama ini terabaikan dan banyak menghambat kemajuan perempuan di berbagai sektor kehidupan.

Budaya patriarki memosisikan perempuan pada peran-peran domestik seperti peran pengasuhan, pendidik, dan penjaga moral. Sementara itu, peran laki-laki sebagai kepala rumah tangga, pengambil keputusan, dan pencari nafkah. Perpanjangan dari berbagai peran yang dilekatkan pada perempuan tersebut maka, arena politik yang sarat dengan peran pengambil kebijakan terkait erat dengan isu-isu kekuasaan yang identik dengan dunia laki-laki. Apabila perempuan masuk ke panggung politik kerap dianggap sesuatu yang kurang lazim atau tidak pantas bahkan arena politik dianggap dunia yang keras, sarat dengan persaingan bahkan terkesan sangat ambisius.

Kalau ditelusuri tingkat keterwakilan perempuan di badan legislatif semenjak 1950 sampai dengan pemilu 1999, hal tersebut belum menunjukkan perubahan yang signifikan.

BAB. III
PENUTUP

KESIMPULAN.


Perempuan Indonesia merupakan bagian yang tidak dapat terpisahkan dari diri bangsa ini. Kendatipun, sejarah mencatat bahwa pandangan-pandangan patriaki telah memposisikan perempuan Indonesia pada kasta kedua dibawah laki-laki. Peranan perempuan pun hanya sekedar peranan dalam rumah tangga, tanggung jawab kodrati yakni mengurus anak, serta mengurus kebutuhan mendasar keluarga.
Ketika, pemerintah kolonial Hindia-Belanda menerapkan kelonggaran untuk memberikan pendidikan kepada kaum pribumi, perempuan masih belum dapat mengecap pendidikan sebagaimana mestinya. Dunia pendidikan yang ditawarkan oleh pemerintah kolonial kala itu, hanya menawarkan diri kepda kaum laki-laki dari golongan bangsawan dan priyayi. Tidak bagi kasta rendahan apalagi kaum perempuan Indonesia.
Dengan keteguhan dan semangat tinggi, kaum perempuan Indonesia merobohkan simbol-simbol budaya yang menuntut mereka berada di bawah kaum laki-laki. Adalah R.A Kartini yang menjadi simbol penuntun ke arah penyamaan dan kesetaraan hak-hak kaum laki-laki dengan kaum perempuan di segala bidang.
Seiring perjalanan sejarah bangsa Indonesia, tercatat perempuan memiliki andil besar dalam perjuangan kemerdekaan Bangsa Indonesia dan pula memiliki peranan dalam perpolitikan bangsa ini pasca kemerdekaan. Kaum perempuan telah memberi warna kepada perjuang bangsa dan mendukung perjuangan tersebut kearah yang terintegrasi dalam semangat persatuan dan kesatuan.
Perempuan-perempuan yang tergabung dalam berbagai organisasi perempuan pada awalnya hanya menuntut kesetaraan dengan kaum laki-laki. Namun Dengan keterpaduan, mereka ikut bahu-membahu kaum laki-laki dalam memperjuangkan mewujudkan bangsa Negara Indonesia yang merdeka dan berdaulat. Tak segan-segan mereka ikut turun ke hutan-hutan untuk bergerilya dan meninggalkan dapur dan kompor untuk mengangkat senjata menentang penjajah. Setelah kemerdekaan tercapai, kaum perempuan masih belum mendapat porsi yang pantas dalam perpolitikan, padahal kaum perempuan memiliki potensi untuk menjadi penyeimbang perpolitikan dalam mewujudkan musyawarah mufakat dalam mencapai keputusan.
Selain itu, dalam penentuan kebijakan, pemikiran perempuan sangatlah dibutuhkan sebab pada kondisi-kondisi masyarakat tertentu, kaum perempuan lebih peka daripada kaum laki-laki dalam mempertimbangkan muara kebijakan yang akan diambil oleh pemerintahan kala itu. Jadi tidaklah terlalu berlebihan bila kita mencoba untuk memberikan porsi yang pantas terhadap kaum permpuan dalam perpolitikan dan sudah saatnya menyingkirkan streotipe dalam masyarakat yang menunjukan bahawa laki-laki lah yang superior daripada kaum perempuan. Sebab baik laki-laki dan perempuan merupakan suatu hal yang saling melengkapi, saling mendukung seperti kala memperjuangkan kemerdekaan Indonesia lewat kekuatan senjata.

DAFTAR PUSTAKA

Sihite, Romany. 2007. Perempuan, Kesetaraan, Keadilan: Suatu Tinjauan Berwawasan Gender Karangan. Jakarta : PT. Raja Grafindo Persada.

Arivia, Gadis. 2006. Feminisme : Sebuah Kata Hati. Jakarta : Penerbit Buku Kompas.

Moore, Henrietta L. 1998. Feminisme Dan Antropologi. Jakarta : Penerbit OBOR.

Internet :
 http://www.setneg.go.id.
 http://situs.kesrepro.info/gendervaw/sep/2004/gendervaw03.htm.

Selasa, 09 Maret 2010

Organisasi Konferensi Islam (OKI)



OKI merupakan organisasi Negara-negara Islam dan negara-negara yang mayoritas penduduknya beragama Islam yang dibentuk sebagai reaksi terhadap pembakaran mesjid Al Aqsa oleh Israel pada tanggal 21 Agustus 1969 yang merupakan salah satu tempat suci umat Islam, selain Mekkah dan Madinah serta bentuk penolakan terhadap pendudukan wilayah-wilayah arab oleh Israel termasuk pula penguasaan atas Yerussalem semenjak tahun 1967.

Latar belakang dan sejarah terbentuknya OKI
Pendudukan Israel atas wilayah-wilayah arab khususnya kota Yerusalem semenjak tahun 1967 telah menimbulkan kekawatiran bagi negara-negara arab dan umat Islam akan tindakan-tindakan yang mungkin dilakukan Israel terhadap wilayah pendudukannya termasuk di Yerusalem yang didalamnya berdiri mesjid Al Aqsa. Pada tanggal 21 Agustus 1969 kekawatiran Negara-negara arab dan umat Islam terbukti dengan tindakan Israel yang membakar mesjid Al aqsa. Pembakaran mesjid Al Aqsa tersebut menimbulkan reaksi dari pemimpin negara arab khususnya Raja Hasan II dari Maroko, menyerukan para pemimpin negara-negara arab dan umat Islam agar bersama-sama menuntut Israel bertanggungjawab atas pembakaran mesjid Al Aqsa tersebut Seruan Raja Hasan II dari Maroko mendapat sambutan dari Raja Faisal dari Arab Saudi dan Liga Arab, yang langsung ditindaklanjuti dengan pertemuan para duta besar dan menteri luar negeri liga arab pada tanggal 22-26 Agustus 1969 yang berhasil memutuskan :

• Tindakan Pembakaran mesjid Al Aqsa oleh Israel merupakan suatu kejahatan yang tidak dapat diterima.
• Tindakan Israel tesebut merongrong kesucian umat Islam dan Nasrani serta mengancam keamanan Arab.
• Mendesak agar segera dilakukan Konfrensi Tingkat Tinggi negara-negara Islam.
Untuk merealisasikan hasil-hasil pertemuan diatas kemudian dibentuklah panitia penyelenggara KTT Negara-negara Islam oleh Arab Saudi dan Maroko berangotakan; Malaysia, Palestina, Somali dan Nigeria, dan pada tanggal 22-25 September 1969 dilangsungkan Konfrensi Tingkat Tinggi negara-negara Islam dihadiri 28 negara dan menghasilkan beberapa keputusan penting diantaranya :

1. Mengutuk pembakaran mesjid Al Aqsa oleh Israel
2. Menuntut pengembaliam kota Yerusalem sebagaimana sebelum perang tahun 1967.
3. Menuntut Israel untuk menarik pasukannya dari seluruh wilayah arab.
4. Menetapkan pertemuan menteri luar negeri di Jeddah Arab Saudi pada bulan Maret 1970.

Tujuan OKI
1. Memelihara dan meningkatkan solidaritas diantara negara-negara anggota dalam bidang ekonomi, sosial, budaya, ilmu pengetahuan politik dan pertahanan keamanan.
2. Mengkoordinasikan usaha-usaha untuk melindungi tempat-tempat suci.
3. Membantu dan bekerjasama dalam memperjuangkan kemerdekaan rakyat Palestina.
4. Berupaya melenyapkan perbedaan rasial, diskriminasi, kolonialisme dalam segala bentuk.
5. Memperkuat perjuangan umat Islam dalam melindungi martabat umat, dan hak masing-masing negara Islam.
6. Menciptakan hubungan kerjasama yang harmonis, saling pengertian antar negara OKI dan Negara-negara lain.
Struktur organisasi OKI
Struktur organisasi terdiri dari :
1. Badan utama meliputi :
• KTT para raja dan Kepala negara/pemerintahan
• Sekretaris Jenderal sebagai badan eksekutif
• Konferensi para Menteri luar negeri
• Mahkamah Islam Internasional sebagai badan Yudikatif
• Komite-komite khusus, meliputi :
• komite Al-Quds
2. komite social, ekonomi dan budaya
3. Badan-badan subsider meliputi:
a). Bidang Ekonomi terdiri dari:
1. Pusat Riset dan latihan sosial ekonomi berpusat di Ankara (Turki).
2. Pusat Riset dan latihan teknik berpusat di Dhakka (Bangladesh)
3. Kamar Dagang Islam berpusat di Casablanca (Maroko).
4. Dewan Penerbangan Islam berpusat di Tunis (Tunisia).
5. Bank Pembangunan Islam berpusat di Jeddah (Arab Saudi).
b). Bidang Sosial Budaya terdiri dari:
1. Dana Solidaritas Islam berpusat di Jeddah (Arab Saudi)
2. Pusat Riset Sejarah dan Budaya Islam berpusat di Istambul (Turki).
3. Dana Ilmu, teknologi dan Pembangunan berpusat di Jeddah (Arab Saudi).
4. Komisi Bulan Sabit Islam berpusat di Bengasi (Libya)
5. Komisi Warisan Budaya Islam berpusat di Istambul (Turki).
6. Kantor Berita Islam Internasional berpusat di Jeddah (Arab Saudi).

Anggota - Anggota OKI
Organisasi Konfrensi Islam (OKI) pada saat pembentukannya memiliki anggota 28 Negara dan terus mengalami pertambahan, hingga dewasa ini anggota OKI berjumlah 46 negara yang berasal dari kawasan Asia Barat, Asia Tengah, Asia Tenggara, Afrika. Negara-negara anggota OKI adalah : Arab Saudi, Maroko, Aljazair, Bahrain, Libya, Mauritania, Djiboti, Mesir, Suriah, Tunisia, Yaman, Yordania, Oman, Qatar, Somalia, Irak, Lebanon, Kuwait, Uni Emirat Arab, Palestin, Afganistan, Bangladesh, Iran, Pakistan, Maladewa, Turki,Azerbaijan, Indonesia, Malaysia, Brunai Darussalam, Nigeria, Mali, Niger, Senegal, Uganda, Siera Leone, Guinea issau, Gabon, Gambia, Chad, Comoros, Camerun, Burkina Faso, Benin.

Kegiatan OKI
Adapun kegiatan yang dilakukan OKI selalu dalam rangka memperjuangkan kepentingan umat Islam, negara-negara anggota, memelihara perdamaian, ketentraman dan kesejahteraan dunia, memperjuangkan kemerdekaan Palestina, baik dalam kegiatan politk, ekonomi dan sosial budaya. Adapun tantangan yang dialami OKI sampai sekarang antara lain:
1. Meminimalisasi perbedaan orientasi politik diantara negara anggota OKI
2. Mengubah dan menghapuskan salah penafsiran dunia Barat terhadap Islam yang selalu negatif, seperti mengaikkan Islam, dengan kegiatan Fundamentalis, Terorisme, dan kekerasan lainya.
3. Meningkatkan rasa persatuan dan kesatuan serta Solidaritas antar Anggota OKI.
4. Meningkatkan Kerjasama dalam berbagai bidang untuk kemajuan dan kesejahteraan rakyat seluruh negara anggota OKI.
5. Mengupayakan terus-menerus agar kemerdekaan dan kedaulatan rakyat Pelestina.

Perkembangan Organisasi Konferensi Islam (OKI)
Sebagai organisasi internasional yang pada awalnya lebih banyak menekankan pada masalah politik, terutama masalah Palestina, dalam perkembangannya OKI menjelma sebagai suatu organisasi internasional yang menjadi wadah kerjasama di berbagai bidang politik, ekonomi, sosial, budaya dan ilmu pengetahuan antar negara-negara muslim di seluruh dunia.
Untuk menjawab berbagai tantangan yang mengemuka, negara-negara anggota OKI memandang revitalisasi OKI sebagai permasalahan yang mendesak. Semangat dan dukungan terhadap perlunya revitalisasi OKI dilatarbelakangi oleh kenyataan bahwa struktur dan kinerja organisasi OKI dinilai belum efisien dan efektif. Dalam kaitan ini, telah diadakan rangkaian pertemuan yang berhasil mengkaji dan melakukan finalisasi TOR restrukturisasi OKI yang disiapkan oleh Malaysia.
Pada pertemuan tingkat Kepala Negara/Kepala Pemerintahan (KTT) ke-10 di Putrajaya, Malaysia, 11-17 Oktober 2003, OKI sepakat untuk memulai upaya kongkrit dalam merestrukturisasi Sekretariat OKI terutama pada empat aspek: perampingan struktur, metodologi, peningkatan kemampuan keuangan dan sumber daya manusia. KTT Luar Biasa OKI ke-3 di Mekkah, Arab Saudi pada 7-8 Desember 2005 telah mengakomodir keinginan tersebut dan dituangkan dalam bentuk Macca Declaration dan OIC 10-years Program of Actions yang meliputi restrukturisasi dan reformasi OKI, termasuk perumusan Statuta OKI baru yang diharapkan dapat dilaksanakan sebelum tahun 2015.
OIC 10-years Program of Actions merupakan awal perubahan OKI yang tidak hanya menfokuskan pada masalah politik tetapi juga ekonomi perdagangan. Program Aksi 10 tahun OKI mencakup isu-isu politik dan intelektual, isu-isu pembangunan, sosial, ekonomi dan ilmu pengetahuan yang diharapkan dapat menjawab kesenjangan kesejahteraan umat. Di bidang politik dan intelektual, dalam 10 tahun OKI diharapkan mampu menangani berbagai isu seperti upaya membangun nilai-nilai moderasi dan toleransi; membasmi ekstrimisme, kekerasan dan terorisme; menentang Islamophobia; meningkatkan solidaritas dan kerjasama antar negara anggota, conflict prevention, peanganan masalah Filipina, hak-hak kelompok minoritas dan komunitas muslim, dan masalah-masalah yang dialami Afrika.
KTT OKI ke-11 berlangsung antara tanggal 13-14 Maret dan bertemakan “The Islamic Ummah in the 21st Century” menghasilkan dokumen utama, yaitu: Piagam OKI, Final Communiqué dan sejumlah resolusi. Final Communiqué mengangkat isu antara lain mengenai politik, keamanan, Palestina, minoritas muslim seperti Kosovo, terorisme, ekonomi, sosial budaya, hukum, iptek dan sosial budaya. Sedangkan resolusi terkait yang berhubungan dengan keamanan global/ regional antara lain: Resolutions on the Cause of palestine, the City of Al-Quds Al Sharif, and the Arab-Israel Conflict, Resolutions on Political Affairs, Resolutions on Muslim Communities and Minorities in Non-OIC Member States. Piagam Baru tersebut pada intinya merupakan penegasan bagi OKI untuk mengeksplorasi bentuk kerjasama yang lain dan tidak hanya terbatas pada kerjasama politik saja.
Dalam kesempatan menghadiri KTT OKI ke-14, 13-14 Maret 2008, Presiden RI dalam pidatonya menyampaikan antara lain:
1. Dukungan terhadap OIC’s Ten-Year Plan of Action yang merupakan cerminan pragmatisme OKI dalam menghadapi tantangan dan permasalahan umat
2. konflik Palestina-Israel merupakan penyebab utama krisis di Timur Tengah dan juga merupakan tantangan serius perdamaian dan keamanan internasional. Terkait dengan hal ini, Presiden Indonesia menyambut baik hasil Konferensi Annapolis pada bulan Desember 2007, terutama mengingat adanya joint understanding untuk mendirikan negara Palestina pada akhir tahun 2008
3. potensi kapasitas negara-negara anggota OKI dapat diberdayakan dalam memainkan perannya dalam upaya memelihara perdamaian dan keamanan global, pemberantasan kemiskinan dan percepatan pembangunan
4. Islam, demokrasi, dan modernitas maupun HAM adalah compatible
5. Islam adalah agama perdamaian dan toleran. Upaya interfaith dan inter-civilization dialogue perlu didukung dalam mengurangi persepsi yang salah dan ketakutan terhadap Islam (Islamophobia) di kalangan Barat
6. pembangunan umat Islam harus memperhatikan aspek lingkungan. Dapat disampaikan bahwa wakil Asia, Afrika, dan Arab juga memiliki pandangan yang kurang lebih sama.
Selanjutnya, dalam KTM ke-35 OKI dengan tema Prosperity and Development di Kampala, Uganda, tanggal 18-20 Juni 2008, telah dilakukan penandatanganan Piagam Baru OKI oleh para Menteri Luar Negeri, termasuk Menteri Luar Negeri RI. Indonesia sangat mendukung proses revitalisasi OKI dan menginginkan agar OKI dapat semakin efektif dalam menanggapi berbagai perubahan dan tantangan global sesuai dengan tujuan pembentukannya. Sebagai negara dengan penduduk Islam terbesar di dunia, Indonesia senantiasa berpartisipasi aktif dalam OKI dengan tujuan akhir untuk mendorong proses good governance di dunia Islam untuk menjadikan OKI sebagai organisasi yang kredibel, kompeten, dan diakui perannya di dunia internasional.
Pertemuan ke-36 Dewan Menteri Luar Negeri OKI (PTM ke-36 OKI) yang dilaksanakan di Damaskus, tanggal 23-25 Mei 2009 membahas isu-isu kerjasama yang menjadi perhatian bersama seperti politik; komunitas muslim di negara bukan anggota OKI; kemanusiaan (humanitarian affairs); hukum; masalah-masalah umum dan keorganisasian; informasi; ekonomi; ilmu pengetahuan dan teknologi; da’wah; sosial budaya; dan administrasi serta keuangan. Dalam kesempatan tersebut Menlu RI menyampaikan pokok-pokok pidato antara lain mengenai perlunya diintensifkan pelaksanaan reformasi OKI, khususnya di bidang demokrasi, good governance, dan HAM termasuk hak-hak wanita, sesuai dengan mandat Program Aksi 10 Tahun OKI (TYPOA) dan Piagam Baru OKI, disamping isu Palestina, kerjasama perdagangan dan pelibatan sektor swasta di antara negara anggota, serta,sebagai Ketua PCSP-OIC, melaporkan perkembangan proses perdamaian di Filipina Selatan terkait dengan pelaksanaan pertemuan Tripartite antara Pemerintah Filipina-MNLF-OKI yang merundingkan implementasi sepenuhnya Perjanjian Damai 1996.
Peran Pemri yang menonjol lainnya dalam OKI adalah dalam rangka memfasilitasi upaya penyelesaian konflik antara Pemerintah Filipina (GRP) dengan Moro National Liberation Front (MNLF) dengan mengacu kepada Final Peace Agreement / Perjanjian Damai 1996. Peran Indonesia saat ini adalah sebagai Ketua Organization Islamic Conference Peace Committee for the Southern Philippines (PCSP-OIC). Adapun hasil penting terakhir adalah diadakannya Pertemuan JWGs ke-2 antara GRP dan MNLF difasilitasi PCSP-OIC pada tgl. 19-28 Agustus 2008, bertempat di KBRI-Manila. Sebagai tindaklanjutnya, Pertemuan Tripartite ke-3 antara GRP, MNLF dan PCSP-OIC direncanakan diselenggarakan pada bulan Januari ataupun Pebruari 2009. Dengan pelaksanaan proses-proses sebagaimana dimaksud, diharapkan akan membantu tercapainya proses pencapaian penyelesaian konflik secara damai di kawasan Filipina Selatan dan memberikan situasi aman dan bebas dari konflik di kawasan dimaksud.
Lebih lanjut, dalam berbagai forum internasional, termasuk OKI, Indonesia telah memberikan dukungan bagi berdirinya Negara Palestina yang merdeka dan berdaulat dengan Yerusalem sebagai ibukotanya. Realisasi dari dukungan tersebut diwujudkan dalam bentuk dukungan diplomatik, yaitu pengakuan terhadap keputusan Dewan Nasional Palestina (Palestinian National Council) untuk memproklamirkan Negara Palestina pada tanggal 15 Nopember 1988. Dukungan kemudian dilanjutkan dengan pembukaan hubungan diplomatik antara Pemerintah RI dan Palestina pada tanggal 19 Oktober 1989. Di samping itu, Indonesia adalah anggota “Committee on Al Quds (Yerusalem)”yang dibentuk pada tahun 1975.
Selain itu, Isu terorisme juga telah menjadi perhatian utama OKI. Komitmen OKI untuk mengatasi masalah terorisme terlihat antara lain pada The Extraordinary Session of the Islamic Conference of Foreign Ministers on Terrorism di Kuala Lumpur, Malaysia, 1-3 April 2002 yang menghasilkan Kuala Lumpur Declaration on International Terrorism. Deklarasi tersebut pada intinya menekankan posisi negara-negara anggota OKI dalam upaya untuk memerangi terorisme dan upaya-upaya untuk mengkaitkan Islam dengan terorisme. Terorisme merupakan salah satu isu di mana OKI memiliki sikap bersama pada pembahasan di forum SMU PBB. Hal ini terkait dengan implementasi UN Global Counter-Terrorism Strategy dan penyelesaian draft konvensi komprehensif anti terorisme internasional di mana menyisakan outstanding issue pada definisi terorisme. Inti posisi OKI menekankan perlunya dibedakan antara kejahatan terorisme dengan hak sah perlawanan rakyat Palestina untuk merdeka. Dalam kaitan ini maka penyelesaian politik konflik Palestina secara adil akan memberikan sumbangan bagi pemberantasan the root causes of terrorism.


SUMBER:
http://www.deplu.go.id/Pages/IFPDisplay.aspx?Name=MultilateralCooperation&IDP=4&P=Multilateral&l=id
http://akrabsenada.site40.net/12ipabab2.html
http://id.wikipedia.org/wiki/Organisasi_Konferensi_Islam