A. Volksraad (1918-1942)
Pada masa penjajahan Belanda, terdapat lembaga semacam parlemen bentukan pemerintahan kolonial Belanda yang dinamakan Volksraad. Dibentuknya lembaga ini merupakan dampak gerakan nasional serta perubahan yang mendasar di seluruh dunia dengan selesainya Perang Dunia I (1914-1918).
Volksraad dibentuk pada tanggal 16 Desember 1916 (Ind. Stb. No. 114 Tahun 1917) dengan dilakukannya penambahan bab baru yaitu Bab X dalam Regeerings Reglement 1954 yang mengatur tentang pembentukan Volksraad. Pembentukan tersebut baru terlaksana pada tahun 1918 oleh Gubernur Jeneral Mr. Graaf van Limburg Stirum.
Kaum nasionalis moderat, seperti Mohammad Husni Thamrin, menggunakan Volksraad sebagai jalan untuk mencapai cita-cita Indonesia merdeka melalui jalan parlemen.
Volksraad sebagai sebuah lembaga dalam konteks Indonesia sebagai wilayah jajahan pada saat itu memang hanya merupakan basa basi politik pemerintahan kolonial. Lewat pemilihan yang bertingkat-tingkat dan berbelit, komposisi keanggotaan Volksraad pada mulanya tidak begitu simpatik.
A.1. Pengisian Jabatan dan Komposisi
Pemilihan orang untuk mengisi jabatan Volksraad diawali dengan pembentukan berbagai “Dewan Kabupaten” dan “Haminte Kota”, di mana setiap 500 orang Indonesia berhak memilih “Wali Pemilih” (Keesman). Kemudian Wali Pemilih inilah yang berhak memilih sebagian anggota Dewan Kabupaten. Kemudian setiap provinsi mempunyai “Dewan Provinsi”, yang sebagian anggotanya dipilih oleh Dewan Kabupaten dan Haminte Kota di wilayah provinsi tersebut. Sebagian besar anggota Dewan Provinsi yang umumnya dari bangsa Belanda, diangkat oleh Gubenur Jenderal.
Susunan dan komposisi Volksraad yang pertama (1918) beranggotakan 39 orang (termasuk ketua), dengan perimbangan:
a. Dari jumlah 39 anggota Volksraad, orang Indonesia Asli melalui “Wali Pemilih” dari “Dewan Provinsi” berjumlah 15 anggota (10 orang dipilih oleh “Wali Pemilih” dan 5 orang diangkat oleh Gubernur Jenderal)
b. Jumlah terbesar, atau 23 orang, anggota Volksraad mewakili golongan Eropa dan golongan Timur Asing, melalui pemilihan dan pengangkatan oleh Gubernur Jenderal (9 orang dipilih dan 14 orang diangkat).
c. Adapun orang yang menjabat sebagai ketua Volksraad bukan dipilih oleh dan dari anggota Volksraad sendiri, melainkan diangkat oleh mahkota Nederland.
Tahun 1927:
Ketua: 1 orang (diangkat oleh Raja)
Anggota: 55 orang
(Anggota Volksraad dari golongan Bumi Putra hanya berjumlah 25 orang)
Tahun 1930:
Ketua: 1 orang (diangkat oleh Raja)
Anggota: 60 orang
(Anggota Volksraad dari golongan Bumi Putra hanya berjumlah 30 orang)
Muncul beberapa usul anggota untuk mengubah susunan dan pengangkatan Volksraad ini agar dapat dijadikan tahap menuju Indonesia merdeka, namun selalu ditolak. Salah satunya adalah “Petisi Sutardjo” pada tahun 1935 yang berisi "permohonan kepada Pemerintah Belanda agar diadakan pembicaraan bersama antara Indonesia dan Berlanda dalam suatu perundingan mengenai nasib Indonesia di masa yang akan datang", atau Gerakan Indonesia Berparlemen dari Gabungan Politik Indonesia. Petisi ini juga ditolak pemerintah kolonial Belanda.
A.2. Tugas Volksraad
Volksraad lebih mengutamakan memberi nasihat kepada Gubernur Jenderal daripada “menyuarakan” kehendak masyarakat. Karena itu, Volksraad sama sekali tidak memuaskan bagi bangsa Indonesia. Bahkan, “parlemen gadungan” ini juga tidak mempunyai hak angket dan hak menentukan anggaran belanja negara sehingga tidak mempunyai kekuasaan seperti parlemen pada umumnya.
Sesuai dengan perkembangan politik di Indonesia, perubahan sedikit demi sedikit terjadi di lembaga ini. Perubahan yang signifikan terjadi pada saat aturan pokok kolonial Belanda di Indonesia, yaitu RR (Regeling Reglement, 1854) menjadi IS (Indische Staatsregeling). Perubahan ini membawa pengaruh pada komposisi dan tugas-tugas Volksraad.
Perubahan sistem pemilihan anggota terjadi sejak 1931. Sebelumnya, semua anggota Volksraad yang dipilih melalui satu badan pemilihan bulat, dipecah menjadi tiga badan pemilihan menurut golongan penduduk yang harus dipilih. Selain itu, diadakan pula sistem pembagian dalam dua belas daerah pemilihan bagi pemilihan anggota warga negara (kaula) Indonesia asli.
Berbagai tuntutan dari kalangan Indonesia asli semakin bermunculan agar mereka lebih terwakili. Sampai 1936, komposisi keanggotaan menjadi:
· 8 orang mewakili I.E.V. (Indo Eurupeesch Verbond)
· 5 orang mewakili P.P.B.B.
· 4 orang mewakili P.E.B. (Politiek Economische Bond)
· 4 orang V.C. (Vederlandisch Club)
· 3 orang mewakili Parindra
· 2 orang mewakili C.S.P (Christelijk Staatkundige Partj)
· 2 orang mewakili Chung Hwa Hui (Kelompok Cina)
· 2 orang mewakili IKP (Indisch Katholieke Partj)
· 4 orang mewakili golongan Pasundan, VAIB (vereeniging Ambtenaren Inl. Bestuur), partai Tionghoa Indonesia
· 5 orang mewakili berbagai organisasi yang setiap organisasi mendapat satu kursi yaitu organisasi sebagai berikut: 1 (Persatuan Minahasa); 1 (Persatuan Perhimpunan katoliek di Jawa), 1 (persatuan kaum Kristen), 1 (Perhimpunan Belanda); 1 (Organisasi Wanita I.E.V)
Pada tanggal 8 Maret 1942 Belanda mengakhiri masa penjajahan selama 350 tahun di Indonesia. Pergantian penjajahan dari Belanda kepada Jepang mengakibatkan keberadaan Volksraad secara otomatis tidak diakui lagi, dan bangsa Indonesia memasuki masa perjuangan Kemerdekaan.
B. Komite Nasional Indonesia Pusat (1945-1949)
Pada masa ini, lembaga-lembaga negara yang diamanatkan UUD 1945 belum dibentuk. Dengan demikian, sesuai dengan Pasal 4 Aturan Peralihan dalam UUD 1945, dibentuklah Komite Nasional Pusat (KNIP). Komite ini merupakan cikal bakal badan legislatif di Indonesia.
Anggota KNIP tersebut berjumlah 60 orang, tetapi sumber yang lain menyatakan terdapat 103 anggota KNIP. KNIP sebagai MPR sempat bersidang sebanyak enam kali. Dalam melakukan kerja DPR, dibentuk Badan Pekerja Komite Nasional Pusat. Badan Pekerja tersebut berhasil menyetujui 133 RUU, di samping pengajuan mosi, resolusi, usul dan lain-lain.
C. DPR dan Senat Republik Indonesia Serikat (1949-1950)
Sebagai konsekuensi diterimanya hasil Konferensi Meja Bundar (KMB), diadakan perubahan bentuk negara kesatuan RI menjadi negara serikat. Perubahan ini dituangkan dalam Konstitusi Republik Indonesia Serikat (RIS). Berdasarkan Konstitusi RIS yang menganut sistem pemerintahan parlementer, badan legislatif RIS dibagi menjadi dua kamar, yaitu Senat dan Dewan Perwakilan Rakyat.
C.1. DPR-RIS
Jumlah anggota DPR terdiri dari 146 orang yang mewakili negara/daerah bagian dengan perincian sebagai berikut:
a. Republik Indonesia 49 orang
b. Indonesia Timur 17 orang
c. Jawa Timur 15 orang
d. Madura 5 orang
e. Pasundan 21 orang
f. Sumatera Utara 4 orang
g. Sumatera Selatan 4 orang
h. Jawa Tengah 12 orang
i. Bangka 2 orang
j. Belitung 2 orang
k. Riau 2 orang
l. Kalimantan Barat 4 orang
m. Dayak Besar 2 orang
n. Banjar 3 orang
o. Kalimantan Tenggara 2 orang
p. Kalimantan Timur 2 orang
DPR-RIS dan Senat bersama-sama dengan pemerintah melaksanakan pembuatan perundang-undangan. DPR-RIS juga berwenang mengontrol pemerintah, dengan catatan presiden tidak dapat diganggu gugat, tetapi para menteri bertanggung jawab kepada DPR atas seluruh kebijaksanaan pemerintah, baik bersama-sama untuk seluruhnya, maupun masing-masing untuk bagiannya sendiri.
Di samping itu, DPR-RIS juga memiliki hak menanya dan menyelidik. Dalam masa kerjanya selama enam bulan, DPR-RIS berhasil mengesahkan tujuh undang-undang.
C.2. Senat-RIS
Keanggotaan Senat RIS berjumlah 32 orang, yaitu masing-masing dua anggota dari tiap negara/negara bagian. Secara keseluruhan, cara kerja Senat RIS diatur dalam Tata Tertib Senat RIS.
D. Dewan Perwakilan Rakyat Sementara (1950-1956)
Pada tanggal 15 Agustus 1950, DPR dan Senat RIS menyetujui Undang-Undang Dasar Sementara Negara Kesatuan Republik Indonesia (UUDS NKRI, UU No. 7/1850, LN No. 56/1950). UUDS ini merupakan adopsi dari UUD RIS yang mengalami sedikit perubahan, terutama yang berkaitan dengan perubahan bentuk negara dari negara serikat ke negara kesatuan. Pada tanggal yang sama, DPR dan Senat RIS mengadakan rapat di mana dibacakan piagam pernyataan terbentuknya NKRI yang bertujuan:
1. Pembubaran secara resmi negara RIS yang berbentuk federasi;
2. Pembentukan NKRI yang meliputi seluruh daerah Indonesia dengan UUDS yang mulai berlaku pada tanggal 17 Agustus 1950.
D.1. Keanggotaan DPRS
Sesuai isi Pasal 77 UUDS, ditetapkan jumlah anggota DPRS adalah 236 orang, yaitu 148 anggota dari DPR-RIS, 29 anggota dari Senat RIS, 46 anggota dari Badan Pekerja Komite Nasional Pusat, dan 13 anggota dari Dewan Pertimbangan Agung.
Fraksi di DPRS (menurut catatan tahun 1954):
1. Masjumi 43 orang
2. PNI 42 orang
3. PIR-Hazairin 19 orang 22 orang
4. PIR-Wongso 3 orang
5. PKI 17 orang
6. PSI 15 orang
7. PRN 13 orang
8. Persatuan Progresif 10 orang
9. Demokrat 9 orang
10. Partai Katolik 9 orang
11. NU 8 orang
12. Parindra 7 orang
13. Partai Buruh 6 orang
14. Parkindo 5 orang
15. Partai Murba 4 orang
16. PSII 4 orang
17. SKI 4 orang
18. SOBSI 2 orang
19. BTI 1 orang
20. GPI 1 orang
21. Perti 1 orang
22. Tidak berpartai 11 orang
D.2. Kedudukan, Tugas dan Wewenang DPRS
a. Kedudukan dan Tugas DPRS
DPR-RIS dan Senat bersama-sama dengan pemerintah melaksanakan pembuatan perundang-undangan. Selain itu, dalam pasal 113-116 UUDS ditetapkan bahwa DPR mempunyai hak menetapkan anggaran negara. Seterusnya dalam Pasal 83 ayat (2) UUDS ditetapkan bahwa para menteri bertanggung jawab atas seluruh kebijaksanaan pemerintah, baik bersama-sama untuk seluruhnya maupun masing-masing untuk bagiannya sendiri. Ini berarti DPR berhak dan berkewajiban senantiasa mengawasi segala perbuatan pemerintah.
b. Hak-hak dan Kewajiban DPRS
(i) Hak Amandemen
DPR berhak mengadakan perubahan-perubahan usul UU yang dimajukan pemerintah kepadanya.
(ii) Hak Menanya dan Hak Interpelasi
DPR mempunyai hak menanya dan hak memperoleh penerangan dari menteri-menteri, yang pemberiannya dianggap tidak berlawanan dengan kepentingan umum RI.
(iii) Hak Angket
DPR mempunyai hak menyelidiki (enquete) menurut aturan-aturan yang ditetapkan UU.
(iv) Hak Kekebalan (imunitet)
Ketua, anggota DPR dan menteri-menteri tidak dapat dituntut di muka pengadilan karena apa yang dikemukakan dalam rapat atau surat kepada majelis, kecuali jika mereka mengumumkan apa yang dikemukakan dalam rapat tertutup dengan syarat supaya dirahasiakan.
(v) Forum Privelegiatum
Ketua, wakil ketua, dan anggota DPR diadili dalam tingkat pertama dan tertinggi oleh MA, pun sesudah mereka berhenti, berhubung dengan kejahatan dan pelanggaran lain yang ditentukan dengan UU dan yang dilakukan dalam masa pekerjaannya, kecuali jika ditetapkan lain dengan UU.
(vi) Hak mengeluarkan suara.
D.3. Hubungan DPRS dengan pemerintah
Sama halnya dengan UUD RIS, UUDS juga menganut sistem pemerintahan parlementer. DPRS dapat memaksa kabinet atau masing-masing menteri meletakkan jabatannya. Namun berbeda dengan ketentuan dalam UUD RIS, UUDS memasukkan pula ketentuan bahwa presiden dapat membubarkan DPRS, kalau DPRS dianggapnya tidak mewakili kehendak rakyat lagi.
D.4. Hasil-hasil pekerjaan DPRS
a. menyelesaikan 167 uu dari 237 buah RUU
b. 11 kali pembicaraan tentang keterangan pemerintah
c. 82 buah mosi/resolusi.
d. 24 usul interpelasi.
e. 2 hak budget.
E. DPR Hasil Pemilu 1955 (20 Maret 1956-22 Juli 1959)
DPR hasil Pemilu 1955 berjumlah 272 orang. Perlu dicatat bahwa Pemilu 1955 juga memilih 542 orang anggota konstituante, yang bertugas menyusun konstitusi Indonesia yang definitif, menggantikan UUDS.
Tugas dan wewenang DPR hasil Pemilu 1955 sama dengan posisi DPRS secara keseluruhan, karena landasan hukum yang berlaku adalah UUDS. Banyaknya jumlah fraksi di DPR serta tidak adanya satu dua partai yang kuat, memberi gambaran bahwa pemerintah merupakan hasil koalisi. Dalam masa ini terdapat tuga kabinet yaitu Kabinet Burhanuddin Harahap, Kabinet Ali Sastroamidjojo, dan Kabinet Djuanda.
F. DPR Hasil Pemilu 1955 Paska-Dekrit Presiden 1959 (1959-1965)
Pada tahun 1959, Presiden Soekarno membubarkan Konstituante dan menyatakan bahwa Indonesia kembali kepada UUD 1945 melalui Dekrit Presiden 5 Juli 2959. Jumlah anggota sebanyak 262 orang kembali aktif setelah mengangkat sumpah. Dalam DPR terdapat 19 fraksi, didominasi PNI, Masjumi, NU, dan PKI.
Dengan Penpres No. 3 tahun 1960, presiden membubarkan DPR karena DPR hanya menyetujui 36 milyar rupiah APBN dari 44 milyar yang diajukan. Setelah membubarkan DPR, presiden mengeluarkan Penpres No. 4 tahun 1960 yang mengatur Susunan DPR-Gotong Royong (DPR-GR).
DPR-GR beranggotakan 283 orang yang semuanya diangkat oleh presiden dengan Keppres No. 156 tahun 1960. Adapun salah satu kewajiban pimpinan DPR-GR adalah memberikan laporan kepada presiden pada waktu-waktu tertentu. Kewajiban ini merupakan penyimpangan dari Pasal 5, 20, dan 21 UUD 1945. Selama 1960-1965, DPR-GR menghasilkan 117 UU dan 26 usul pernyataan pendapat.
G. DPR Gotong Royong Tanpa Partai Komunis Indonesia (1965-1966)
Setelah peristiwa G.30.S/PKI, DPR-GR membekukan sementara 62 orang anggota DPR-GR eks PKI dan ormas-ormasnya. DPR-GR tanpa PKI dalam masa kerjanya satu tahun, mengalami empat kali perubahan komposisi pimpinan, yaitu:
a. Periode 15 November 1965-26 Februari 1966.
b. Periode 26 Februari 1966-2 Mei 1966.
c. Periode 2 Mei 1966-16 Mei 1966.
d. Periode 17 Mei 1966-19 November 1966.
Secara hukum, kedudukan pimpinan DPR-GR masih berstatus sebagai pembantu presiden sepanjang Peraturan Presiden No. 32 tahun 1964 belum dicabut.
H. DPR-GR Masa Transisi dari Orde Lama ke Orde Baru
Dalam rangka menanggapi situasi masa transisi, DPR-GR memutuskan untuk membentuk dua panitia:
1. Panitia politik, berfungsi mengikuti perkembangan dalam berbagai masalah bidang politik.
2. Panitia ekonomi, keuangan dan pembangunan, bertugas memonitor situasi ekonomi dan keuangan serta membuat konsepsi tentang pokok-pokok pemikiran ke arah pemecahannya.
I. DPR-GR Masa Orde Baru 1966-1971
Berdasarkan Ketetapan MPRS No. XX/MPRS/1966, yang kemudian dikukuhkan dalam UU No. 10/1966, DPR-GR masa “Orde Baru” memulai kerjanya dengan menyesuaikan diri dari “Orde Lama” ke “Orde Baru.”
Kedudukan, tugas dan wewenang DPR-GR 1966-1971 adalah sebagai berikut:
1. Bersama-sama dengan pemerintah menetapkan APBN sesuai dengan Pasal 23 ayat (1) UUD 1945 beserta penjelasannya.
2. Bersama-sama dengan pemerintah membentuk UU sesuai dengan Pasal 5 ayat (1), Pasal 20, Pasal 21 ayat (1) dan Pasal 22 UUD 1945 beserta penjelasannya.
3. Melakukan pengawasan atas tindakan-tindakan pemerintah sesuai dengan UUD 1945 dan penjelasannya, khususnya penjelasan bab 7.
J. DPR Hasil Pemilu 1971, 1977, 1982, 1987, 1992, 1997
Setelah mengalami pengunduran sebanyak dua kali, pemerintahan “Orde Baru” akhirnya berhasil menyelenggarakan Pemilu yang pertama dalam masa pemerintahannya pada tahun 1971. Seharusnya berdasarkan Ketetapan MPRS No. XI Tahun 1966 Pemilu diselenggarakan pada tahun 1968. Ketetapan ini diubah pada Sidang Umum MPR 1967, oleh Jenderal Soeharto, yang menggantikan Presiden Soekarno, dengan menetapkan bahwa Pemilu akan diselenggarakan pada tahun 1971.
Menjelang Pemilu 1971, pemerintah bersama DPR-GR menyelesaikan UU No. 15 Tahun 1969 tentang Pemilu dan UU No. 16 tentang Susunan dan Kedudukan MPR, DPR dan DPRD.
Dalam hubungannya dengan pembagian kursi, cara pembagian yang digunakan dalam Pemilu 1971 berbeda dengan Pemilu 1955. Dalam Pemilu 1971, yang menggunakan UU No. 15 Tahun 1969 sebagai dasar, semua kursi terbagi habis di setiap daerah pemilihan (sistem proporsional). Cara ini ternyata mampu menjadi mekanisme tidak langsung untuk mengurangi jumlah partai yang meraih kursi dibandingkan penggunaan sistem kombinasi. Sistem yang sama masih terus digunakan dalam enam kali Pemilu, yaitu Pemilu 1971, 1977, 1982, 1987, 1992, dan 1997.
Sejak Pemilu 1977, pemerintahan “Orde Baru” mulai menunjukkan penyelewengan demokrasi secara jelas. Jumlah peserta Pemilu dibatasi menjadi dua partai dari satu golongan karya (Golkar). Kedua partai itu adalah Partai Persatuan Pembangunan (PPP) dan Partai Demokrasi Indonesia (PDI). Partai-partai yang ada dipaksa melakukan penggabungan (fusi) ke dalam dua partai tersebut. Sementara mesin-mesin politik “Orde Baru” tergabung dalam Golkar. Hal ini diakomodasi dalam UU No. 3 Tahun 1975 tentang Partai Politik dan Golongan Karya. Keadaan ini berlangsung terus dalam lima kali Pemilu, yaitu Pemilu 1977, 1982, 1987, 1992, dan 1997. Dalam setiap Pemilu tersebut, Golkar selalu keluar sebagai pemegang suara terbanyak.
Dalam masa ini, DPR berada di bawah kontrol eksekutif. Kekuasaan presiden yang terlalu besar dianggap telah mematikan proses demokratisasi dalam bernegara. DPR sebagai lembaga legislatif yang diharapkan mampu menjalankan fungsi penyeimbang (checks and balances) dalam prakteknya hanya sebagai pelengkap dan penghias struktur ketatanegaraan yang ditujukan hanya untuk memperkuat posisi presiden yang saat itu dipegang oleh Soeharto.
K. DPR Hasil Pemilu 1999 (1999-2004)
DPR periode 1999-2004 merupakan DPR pertama yang terpilih dalam masa “reformasi”. Setelah jatuhnya Soeharto pada tanggal 21 Mei 1998 yang kemudian digantikan oleh Wakil Presiden Bacharuddin Jusuf Habibie, masyarakat terus mendesak agar Pemilu segera dilaksanakan. Desakan untuk mempercepat Pemilu tersebut membuahkan hasil.
Pada 7 Juni 1999, atau 13 bulan masa kekuasaan Habibie, Pemilu untuk memilih anggota legislatif kemudian dilaksanakan. Pemilu ini dilaksanakan dengan terlebih dulu mengubah UU tentang Partai Politik (Parpol), UU Pemilihan Umum, dan UU tentang Susunan dan Kedudukan MPR, DPR, dan DPRD (UU Susduk), dengan tujuan mengganti sistem Pemilu ke arah yang lebih demokratis. Hasilnya, terpilih anggota DPR baru.
Meski UU Pemilu, Parpol, dan Susduk sudah diganti, sistem dan susunan pemerintahan yang digunakan masih sama sesuai dengan UUD yang berlaku yaitu UUD 1945. MPR kemudian memilih Abdurrahman Wahid sebagai presiden dan Megawati Soekarnoputri sebagai wakil presiden. Ada banyak kontroversi dan sejarah baru yang mengiringi kerja DPR hasil Pemilu 1999 ini.
Pertama, untuk pertama kalinya proses pemberhentian kepala negara dilakukan oleh DPR. Dengan dasar dugaan kasus korupsi di Badan Urusan Logistik (oleh media massa populer sebagai “Buloggate”), presiden yang menjabat ketika itu, Abdurrahman Wahid, diberhentikan oleh MPR atas permintaan DPR. Dasarnya adalah Ketatapan MPR No. III Tahun 1978. Abdurrahman Wahid kemudian digantikan oleh wakil presiden yang menjabat saat itu, Megawati Soekarnoputri.
Kedua, DPR hasil Pemilu 1999, sebagai bagian dari MPR, telah berhasil melakukan amandemen terhadap UUD 1945 sebanyak empat kali yaitu pada tahun 1999, (pertama), 2000 (kedua), 2001 (ketiga), dan 2002 (keempat). Meskipun hasil dari amandemen tersebut masih dirasa belum ideal, namun ada beberapa perubahan penting yang terjadi. Dalam soal lembaga-lembaga negara, perubahan-perubahan penting tersebut di antaranya: lahirnya Dewan Perwakilan Daerah (DPD), lahirnya sistem pemilihan presiden langsung, dan lahirnya Mahkamah Konstitusi.
Ketiga, dari sisi jumlah UU yang dihasilkan, DPR periode 1999-2004 paling produktif sepanjang sejarah DPR di Indonesia dengan mengesahkan 175 RUU menjadi UU. Meski perlu dicatat pula bahwa berdasarkan penelitian yang dilakukan PSHK tingginya kualitas ternyata tidak sebanding dengan kualitas (Susanti, dkk, 2004).
L. DPR Hasil Pemilu 2004 (2004-2009)
Amandemen terhadap UUD 1945 yang dilakukan pada tahun 1999-2002 membawa banyak implikasi ketatanegaraan yang kemudian diterapkan pada Pemilu tahun 2004. Beberapa perubahan tersebut yaitu perubahan sistem pemilihan lembaga legislatif (DPR dan DPD) dan adanya presiden yang dilakukan secara langsung oleh rakyat.
Dalam Pemilu tahun 2004 ini, mulai dikenal secara resmi lembaga perwakilan rakyat baru yang bernama Dewan Perwakilan Daerah (DPD). DPR merupakan representasi dari jumlah penduduk sedangkan DPD merupakan representasi dari wilayah. Implikasi lanjutannya adalah terjadi perubahan dalam proses legislasi di negara ini.
Idealnya, DPR dan DPD mampu bekerja bersama-sama dalam merumuskan sebuah UU. Hanya saja karena cacatnya amandemen yang dilakukan terhadap UUD 1945, relasi yang muncul menjadi timpang. DPR memegang kekuasaan legislatif yang lebih besar dan DPD hanya sebagai badan yang memberi pertimbangan kepada DPR dalam soal-soal tertentu.
Informasi lebih lengkap mengenai keanggotaan, alat kelengkapan, dan lain-lain khusus untuk DPR periode ini, dapat ditemukan dalam artikel lainnya dalam parlemen.net yang mengenai DPR.
Selasa, 09 November 2010
Senin, 15 Maret 2010
Partisipasi Politik Perempuan Pada Masa Pasca Kemerdekaan Indonesia
oleh : Nolly Rodus V.T.C Telaumbanua
Teger Prananda Bangun
Vellayati Hajad
Irfan Maulana
Yanoman F. purba
(Mahasiswa departemen Ilmu politik,Fisip USU)
BAB. I
PENDAHULUAN
A. LATAR BELAKANG.
Bangsa yang besar adalah bangsa yang selalu mengenang jasa para pahlawannya, selain itu juga sangat melindungi dan melestarikan budayanya, termasuk adat-istiadat bangsanya. Hal ini merupakan modal berharga bagi upaya pemantapan ketahanan mental spiritual dalam menghadapi pengaruh negatif yang dibawa oleh arus globalisasi yang terjadi pada saat ini. Apabila tidak kita waspadai, bukan tidak mungkin bahwa hal itu akan bisa menimbulkan erosi terhadap budaya bangsa kita.
Sejak Kebangkitan Nasional tahun 1908 sampai saat ini. Perempuan merupakan bagian dari bangsa Indonesia yang sejak dahulu kala berkiprah dalam berbagai bidang kehidupan. Karena itu, kita tidak boleh melupakan peranan perempuan Indonesia sebagai bagian dari perjuangan bangsa ini.
Perempuan Indonesia memiliki peranan dan kedudukan sangat penting sepanjang perjalanan sejarah. Kiprah perempuan di atas panggung sejarah tidak diragukan lagi. Gerakan kebangkitan nasional berhubungan dengan politik etis Hindia-Belanda yang memberi kesempatan bagi para pribumi untuk bersekolah. Sebenarnya maksud pemerintah Hindia-Belanda adalah untuk menghasilkan buruh-buruh terdidik, guru-guru, birokrat rendahan yang cukup terdidik, dokter-dokter yang mampu menangani penyakit menular pada bangsa pribumi/dan kaum kolonial khususnya. Tindakan ini dilakukan karena Hindia-Belanda harus menekan biaya operasional tanah jajahan (Indonesia) yang terlalu mahal bila menggunakan tenaga impor dari Belanda.
Meskipun yang diizinkan memasuki sekolah Belanda saat itu hanyalah kaum bangsawan, priyayi, dan kaum elite, ternyata para pemuda pribumi kemudian berbondong-bondong memasuki Sekolah Rakyat, HIS, MULO dan HBS, hingga sekolah dokter (STOVIA), dan sekolah guru (Kweekschool). Dengan bersekolah mereka mampu membaca buku-buku berbahasa Belanda dan Inggris. Buku-buku ini membuka mata dan hati pelajar dan mahasiswa tentang perjuangan pembebasan nasional di seluruh negeri di bumi ini. Dibukanya sekolah-sekolah Belanda untuk elite pribumi dan para ningrat, telah menghasilkan sekumpulan orang-orang muda berpendidikan Barat yang kelak menjadi tulang punggung gerakan pembebasan nasional.
Pencerahan dalam dunia pendidikan tersebut menggugah orang-orang muda untuk berkumpul, berbicara, berdiskusi dan menentukan. Tahun 1908 lahirlah organisasi yang dinamakan Budi Utomo. Sebelum Budi Utomo berdiri, telah lahir seorang pejuang perempuan, yaitu R.A. Kartini (1879-1904). Beliau adalah pelopor dan pendahulu perjuangan untuk pendidikan perempuan dan persamaan hak perempuan. Kartini berpendapat bahwa bila perempuan ingin maju dan mandiri, maka perempuan harus mendapat pendidikan. Kartini selama ini kita kenal sebagai seorang pejuang emansipasi perempuan, terutama di bidang pendidikan. Kartinilah yang membangun pola pikir kemajuan, dengan cara menggugah kesadaran orang-orang sejamannya, bahwa kaum perempuan harus bersekolah. Tidak hanya di Sekolah Rendah, melainkan harus dapat meneruskan ke sekolah yang lebih tinggi, sejajar dengan saudara-saudaranya yang laki-laki.
Gagasan-gagasan brilian dari Kartini tersebut kemudian diikuti oleh beberapa tokoh perempuan lainnya, seperti Raden Dewi Sartika yang mendirikan Sekolah Keutamaan Isteri di Bandung dan Rohanna Kudus yang mendirikan perusahaan penerbitan koran Soenting Malajoe. Namun Kartini sendiri tetap sebagai Sang Penggedor. Beliau adalah simbol gerakan perempuan Indonesia yang mengawali seluruh tradisi dan intelektual gerakan perempuan Indonesia, berikut gagasan paling awal dalam melihat ketertindasan rakyat di bawah feodalisme dan kapitalisme.
Setelah kebangkitan nasional, perjuangan perempuan semakin terorganisir. Seiring dengan terbentuknya berbagai organisasi nasional atau pun partai politik, maka pergerakan perempuan pun mulai terbentuk, baik sebagai sayap atau bagian dari organisasi perempuan yang sudah ada, atau pun membentuk wadah organisasi perempuan tersendiri yang dilaksanakan oleh perjuangan perempuan di satu sektor atau tingkat tertentu. Di sisi lain, perkembangan gerakan berbasiskan agama, seperti Muhammadiyah, turut pula membentuk polarisasi dalam gerakan perempuan, yaitu Aisyiah. Berbagai karya jurnalisme pun bertebaran, bukan hanya dalam Bahasa Belanda, melainkan terutama dalam bahasa Melayu. Sejalan dengan itu, kiprah sejumlah sastrawati mulai muncul ke permukaan. Gairah nasionalisme tengah mencari jalan untuk memodernisasikan dirinya. Gerakan perempuan pun terus berkembang dan menyesuaikan dinamikanya dengan perkembangan perjuangan bangsa Indonesia. Nasionalisme menjadi gagasan yang diterima di seluruh kekuatan politik yang ada, sehingga konsepsi persatuan menjadi lebih mudah untuk diwujudkan.
B. RUMUSAN MASALAH.
Dalam makalah kami ini, ada beberapa pokok pertanyaan yang mendasar yang kami coba untuk memaparkannya antara lain :
A. Seperti apakah kondisi pergerakan perempuan Indonesia terkhusus pasca kemerdekaan?
B. Bagaimana keterlibatan perempuan Indonesia dalam perjuangan bangsa Indonesia memperjuangkan dan mempertahankan integritas nasional terutama dalam perpolitikan Indonesia dan gerakan-gerakan sosial budaya setelah kemerdekaan?
C. Dan seberapa pentingkah peranan perempuan Indonesia bagi persatuan bangsa Indonesia?
BAB. II
PEMBAHASAN
A. AWAL PERGERAKAN PEREMPUAN INDONESIA.
Kebijakan politik etis telah membangkitkan semangat di kalangan kaum perempuan untuk bergerak dan berjuang mendapatkan persamaan hak pendidikan bagi perempuan. Buah dari semangat ini, berdirilah Poetri Mardika (1912), salah satu organisasi perempuan yang kelahirannya memang mendapat dukungan dari Boedi Oetomo (organisasi laki-laki). Dalam perkembangannya, Poetri Mardika pernah mengajukan mosi kepada Gubernur Jenderal pada tahun 1915 agar perempuan dan laki-laki diperlakukan sama di muka hukum.
Setelah itu, berdiri banyak perkumpulan perempuan baik yang didukung oleh organisasi laki-laki maupun yang terbentuk secara mandiri oleh perempuan sendiri misalnya, Pawiyatan Wanito (Magelang, 1915), Percintaan Ibu Kepada Anak Temurun—PIKAT (Manado, 1917), Purborini (Tegal, 1917), Aisyiyah atas bantuan Muhammadiyah (Yogyakarta, 1917), Wanito Soesilo (Pemalang, 1918), Wanito Hadi (Jepara, 1919), Poteri Boedi Sedjati (Surabaya, 1919), Wanito Oetomo dan Wanito Moeljo (Yogyakarta, 1920), Serikat Kaoem Iboe Soematra (Bukit Tinggi, 1920), Wanito Katolik (Yogyakarta, 1924). (Sukanti Suryochondro: 1995). Dalam catatan sejarah, hampir setiap organisasi perempuan ini menerbitkan majalah mereka sendiri sebagai media untuk membentuk opini publik sehingga gagasan-gagasan mereka terkomunikasikan ke dalam masyarakat luas.
Secara umum sifat tujuan organisasi tersebut adalah sosial dan kultural, memperjuangkan nilai-nilai baru dalam kehidupan keluarga dan masyarakat, mempertahankan ekspresi kebudayaan asli melawan aspek-aspek kebudayaan Barat yang tidak sesuai. Hampir tidak ada sumber yang bisa dilacak kegiatan politik macam apa, kecuali catatan-catatan yang lebih menunjukkan pada kegiatan-kegiatan sosial-budaya.
Gerakan nasionalisme juga berkobar di kalangan organisasi perempuan, dan pada tanggal 22 Desember 1928, diadakan Kongres Perempuan Indonesia I di Yogyakarta. Kongres ini melahirkan semacam federasi organisasi perempuan dengan nama Perikatan Perkumpulan Perempuan Indonesia (PPPI) dan pada tahun 1929, setahun setelah terbentuknya, diganti menjadi Perikatan Perkumpulan Istri Indonesia (PPII). Pada awal berdirinya, upaya-upaya yang dilakukan adalah perhatian pada lingkungan keluarga dan masyarakat, kedudukan perempuan dalam hukum perkawinan (Islam), pendidikan dan perlindungan anak-anak, pendidikan kaum perempuan, perempuan dalam perkawinan, mencegah perkawinan anak-anak, nasib yatim piatu dan janda, pentingnya peningkatan harga diri perempuan, dan kejahatan kawin paksa. Perhatian ini meluas, misalnya pada tahun 1935 dibentuk Badan Penyelidikan Perburuhan Kaum Perempuan, salah satunya rapat umum untuk perempuan buruh batik di Lasem Jawa Tengah, membentuk Badan Pemberantasan Buta Huruf, Badan Pemberantasan Perdagangan Perempuan dan Anak-anak.
Setelah Kongres Perempuan Indonesia tingkat nasional pertama, organisasi perempuan semakin berkembang, yang ditandai dengan makin banyaknya jenis gerakan perempuan dan semakin terbuka wawasannya. Pada periode sebelumnya, lingkup kegiatan hampir semua organisasi perempuan hanya meliputi masalah emansipasi dan usaha menjadikan perempuan lebih sempurna dalam menjalankan peran tradisionalnya sebagai perempuan. Pada periode ini mulai muncul organisasi-organisasi yang membuka wawasan perempuan melampaui lingkup rumah tangga dan keluarga. Organisasi-organisasi baru ini menjadikan masalah-masalah politik dan agama sebagai pokok perhatiannya. Padahal sebelumnya semua organisasi yang bergabung dalam PPPI (Perikatan Perkumpulan Perempuan Indonesia) menolak mencampuri urusan politik dan agama.
Dalam Kongres Perempuan II, Maret 1932, isu nasionalisme dan politik muncul, selain soal perdagangan peremuan, hak perempuan dan penelitian keadaan sanitasi di kampung serta tingginya angka kematian bayi. Ki Hajar Dewantara, dalam pidatonya mengatakan, sangat terkesan dengan perjuangan feminis di Turki, Cina, Persia, dan India, yang memberikan kontribusi sangat besar bagi suksesnya perjuangan nasional di negara mereka. Dua tahun sebelum Kongres II ini, pada tahun 1930, Suwarni Pringgodigdo, mendirikan organisasi perempuan yang aktif dalam perjuangan politik, yaitu Istri Sedar di Bandung dan menerbitkan jurnal Sedar. Perjuangan lain, adalah upaya gerakan perempuan untuk menentang poligami yang dipandang merugikan perempuan.
Pada Kongres Perempuan III, setelah melakukan pembubaran PPII, mulai dimunculkan isu tentang hak suara perempuan. Perempuan terus memperjuangkan hak politik atau keterwakilan perempuan, dengan memperjuangkan Maria Ulfa menjadi anggota Volksraad, meskipun gagal. Maria Ulfa kemudian terpilih menjadi menteri Sosial pada Kabinet Syahrir II (1946) dan S.K. Trimurti menjadi menteri Perburuhan pada Kabinet Amir Sjarifuddin (1947-1948). Pada pemilu 1955, gerakan perempuan Indonesia berhasil menempatkan perempuan sebagai anggota parlemen.
Pada zaman Pendudukan Bala Tentara Jepang (1942-1945), penjajah Jepang melarang semua bentuk organisasi, termasuk organisasi perempuan dan membubarkannya. Kemudian dibentuk organisasi-organisasi baru dengan dalih sebagai propaganda untuk kepentingan dan kemakmuran bangsa-bangsa Asia Timur Raya. Untuk organisasi perempuan yang dibentuk oleh para isteri pegawai di daerah-daerah, dan diketuai oleh isteri masing-masing kepala daerah, dan disebut Fujinkai. Kegiatan Fujinkai dibatasi hanya pada urusan-urusan keperempuanan dan peningkatan keterampilan domestik, selain kegiatan menghibur tentara yang sakit dan kursus buta huruf. Bagi para perempuan yang mempunyai wawasan luas, pembatasan ini merisaukan dan mereka tidak ikut masuk Fujinkai. Kenyataan ini menjadikan adanya dua jenis orientasi di kalangan aktivis perempuan, yaitu mereka yang berkooperasi dengan pemerintah bala tentara Dai Nippon dan yang non-kooperatif atau memilih bergerak diam-diam di bawah tanah.
B. PERGERAKAN PEREMPUAN PASCA KEMERDEKAAN INDONESIA.
Setelah kemerdekaan, organisasi perempuan kembali bergerak, akan tetapi karena pada awal kemerdekaan Negara Republik Indonesia masih diliputi oleh perjuangan mempertahankan kemerdekaan, maka perjuangan perempuan Indonesia adalah mendukung para pejuang dalam gerilya atau pertempuran. Pada tahun 1946, organisasi perempuan mulai tumbuh, baik sebagai organisasi yang baru maupun kebangkitan kembali yang telah ada. Gerakan perempuan pasca kemerdekaan (masa Soekarno) ini, di samping tetap memperjuangkan agenda-agenda, termasuk pasca pemberangusan di zaman Jepang, mereka terus memperjuangkan kesamaan politik, hak memperoleh pendidikan dan kesempatan bekerja. Persoalan yang dihadapi adalah tindakan diskriminatif antara laki-laki dan perempuan. Pada masa ini, meski demikian, hak politik yang sama setidaknya secara legal telah dijamin dalam pasal 27 UUD 45. Lalu lahir UU 80/1958, yang menjamin adanya prinsip pembayaran yang sama untuk pekerjaan yang sama, perempuan dan laki-laki tidak dibedakan dalam sistem penggajian.
Selanjutnya setelah di Indonesia diperbolehkan mendirikan partai politik, maka sejumlah perempuan masuk menjadi anggota partai politik, bahkan pada tahun 1948 sempat berdiri Partai Wanita Rakyat atas inisiatif Ibu Sri Mangunsarkoro di Yogyakarta. Partai ini berazaskan ke-Tuhan-an, kerakyatan, kebangsaan dan mempunyai program perjuangan yang sangat militan. Demikian juga dengan keputusan kongres Kowani pada tahun 1948 dan 1949, sangat sarat dengan muatan politis dan dengan semangat yang militan untuk mempertahankan kemerdekaan Indonesia. Sampai dengan tahun 1950, hasil politik yang dicapai kaum perempuan cukup banyak. Anggota Dewan Perwakilan Rakyat pun meningkat. Hal inilah yang memungkinkan perempuan untuk turut dalam pengambilan keputusan dan pembuatan undang-undang. Demikian juga di bidang eksekutif, pada tahun 1950 telah diangkat dua orang menteri perempuan, yaitu Ny. Maria Ulfah Santoso sebagai Menteri Sosial dan Ny. S.K. Trimurti sebagai Menteri Perburuhan.
Setelah tahun 1950, organisasi perempuan berkembang seiring dengan berkembangnya partai-partai di Indonesia. Banyak organisasi perempuan yang menjadi bagian perempuan dari suatu partai, seperti Wanita Marhaenis, Gerakan Wanita Sosial, Gerwani, dan lain-lain.
Ada pula partai yang bergerak dan merupakan bagian dari organisasi keagamaan, seperti Aisyiah, Wanita Katolik, selain itu juga organisasi perempuan yang berdiri sendiri tanpa ikatan dengan partai lain, seperti Perwari, dan banyak lagi organisasi perempuan yang bergerak di bidang sosial dan kesejahteraan masyarakat.
Pada tahun 1952, lahir organisasi yang menghimpun para isteri Kementerian Dalam Negeri yang sifatnya nonpolitik, namun tetap mengikuti perkembangan zaman. Selain dari isteri pegawai Departemen Dalam Negeri, masing-masing departemen juga membentuk perkumpulan isteri pegawainya, sehingga seluruhnya ada 19 organisasi isteri pegawai di masing-masing departemen, misalnya, Artha Kencana (Dep.Keuangan), Idhata (Dep. Pendidikan dan Kebudayaan), dan lain-lain.
C. PERANAN PEREMPUAN DALAM PERPOLITIKAN PASCA KEMERDEKAAN INDONESIA.
Bila kita membicarakan peran politik perempuan, kita tidak mengartikan politik secara sempit seperti melihat politik dalam kaca mata formal di bidang legislatif, eksekutif,dan yudikatif. Eksistansi politik terwujud dalam aspek kehidupan bersama dalam tingkat lokal, dan kepekaan terhadap permasalahan yang ada. Partisipasi perempuan dalam politik secara aktif, menyumbangkan pemikiran sampai kepekaan yang tinggi terhadap permasalahan politik yang sangatlah diperlukan.
Partisipasi politik menurut H. Mc Closky merupakan kegiatan sukarela dari warga negara melalui mana mereka mengambil bagian dalam proses pemilihan penguasa secara langsung atau tidak langsung dalam proses pembentukan kebijakan umum (M. Budiardjo, 2008, Hal 367).
Ada alasan yang penting bagi perempuan untuk berpartisipasi dalam politik, yaitu:
1. Perempuan memiliki pengalaman khusus yang dipahami dan dirasakan oleh perempuan. Seperti isu diskriminasi, marginalisasi, kesehatan reproduksi, isu kekerasan dalam rumah tangga, isu kekerasan perempuan dan lain-lain.
2. Partisipasi perempuan diharapkan dapat mencagah kondisi yang tidak menguntungkan perempuan dalam mengatasi permasalahan stereotipe terhadap perempuan, diskriminasi di bidang hukum, kehidupan sosial dan kerja, marginalisasi di dunia karir, dan eksploitasi yang terjadi pada perempuan.
3. Partisipasi perempuan dalam pengambilan keputusan politik dapat berpengaruh pada pengambilan keputusan politik yang mengutamakan perdamaian. Politik perempuan diharapkan membawa nilai-nilai penyeimbang yang mengatasi perkelahian dengan solusi berembuk, mengubah kompetisi menjadi kerjasama.
Partisipasi politik perempuan sangat dibutuhkan dalam upaya pengintegrasian kebutuhan gender dalam berbagai kebijakan publik dan menggolkan instrumen hukum yang sensitif gender yang selama ini terabaikan dan banyak menghambat kemajuan perempuan di berbagai sektor kehidupan.
Budaya patriarki memosisikan perempuan pada peran-peran domestik seperti peran pengasuhan, pendidik, dan penjaga moral. Sementara itu, peran laki-laki sebagai kepala rumah tangga, pengambil keputusan, dan pencari nafkah. Perpanjangan dari berbagai peran yang dilekatkan pada perempuan tersebut maka, arena politik yang sarat dengan peran pengambil kebijakan terkait erat dengan isu-isu kekuasaan yang identik dengan dunia laki-laki. Apabila perempuan masuk ke panggung politik kerap dianggap sesuatu yang kurang lazim atau tidak pantas bahkan arena politik dianggap dunia yang keras, sarat dengan persaingan bahkan terkesan sangat ambisius.
Kalau ditelusuri tingkat keterwakilan perempuan di badan legislatif semenjak 1950 sampai dengan pemilu 1999, hal tersebut belum menunjukkan perubahan yang signifikan.
BAB. III
PENUTUP
KESIMPULAN.
Perempuan Indonesia merupakan bagian yang tidak dapat terpisahkan dari diri bangsa ini. Kendatipun, sejarah mencatat bahwa pandangan-pandangan patriaki telah memposisikan perempuan Indonesia pada kasta kedua dibawah laki-laki. Peranan perempuan pun hanya sekedar peranan dalam rumah tangga, tanggung jawab kodrati yakni mengurus anak, serta mengurus kebutuhan mendasar keluarga.
Ketika, pemerintah kolonial Hindia-Belanda menerapkan kelonggaran untuk memberikan pendidikan kepada kaum pribumi, perempuan masih belum dapat mengecap pendidikan sebagaimana mestinya. Dunia pendidikan yang ditawarkan oleh pemerintah kolonial kala itu, hanya menawarkan diri kepda kaum laki-laki dari golongan bangsawan dan priyayi. Tidak bagi kasta rendahan apalagi kaum perempuan Indonesia.
Dengan keteguhan dan semangat tinggi, kaum perempuan Indonesia merobohkan simbol-simbol budaya yang menuntut mereka berada di bawah kaum laki-laki. Adalah R.A Kartini yang menjadi simbol penuntun ke arah penyamaan dan kesetaraan hak-hak kaum laki-laki dengan kaum perempuan di segala bidang.
Seiring perjalanan sejarah bangsa Indonesia, tercatat perempuan memiliki andil besar dalam perjuangan kemerdekaan Bangsa Indonesia dan pula memiliki peranan dalam perpolitikan bangsa ini pasca kemerdekaan. Kaum perempuan telah memberi warna kepada perjuang bangsa dan mendukung perjuangan tersebut kearah yang terintegrasi dalam semangat persatuan dan kesatuan.
Perempuan-perempuan yang tergabung dalam berbagai organisasi perempuan pada awalnya hanya menuntut kesetaraan dengan kaum laki-laki. Namun Dengan keterpaduan, mereka ikut bahu-membahu kaum laki-laki dalam memperjuangkan mewujudkan bangsa Negara Indonesia yang merdeka dan berdaulat. Tak segan-segan mereka ikut turun ke hutan-hutan untuk bergerilya dan meninggalkan dapur dan kompor untuk mengangkat senjata menentang penjajah. Setelah kemerdekaan tercapai, kaum perempuan masih belum mendapat porsi yang pantas dalam perpolitikan, padahal kaum perempuan memiliki potensi untuk menjadi penyeimbang perpolitikan dalam mewujudkan musyawarah mufakat dalam mencapai keputusan.
Selain itu, dalam penentuan kebijakan, pemikiran perempuan sangatlah dibutuhkan sebab pada kondisi-kondisi masyarakat tertentu, kaum perempuan lebih peka daripada kaum laki-laki dalam mempertimbangkan muara kebijakan yang akan diambil oleh pemerintahan kala itu. Jadi tidaklah terlalu berlebihan bila kita mencoba untuk memberikan porsi yang pantas terhadap kaum permpuan dalam perpolitikan dan sudah saatnya menyingkirkan streotipe dalam masyarakat yang menunjukan bahawa laki-laki lah yang superior daripada kaum perempuan. Sebab baik laki-laki dan perempuan merupakan suatu hal yang saling melengkapi, saling mendukung seperti kala memperjuangkan kemerdekaan Indonesia lewat kekuatan senjata.
DAFTAR PUSTAKA
Sihite, Romany. 2007. Perempuan, Kesetaraan, Keadilan: Suatu Tinjauan Berwawasan Gender Karangan. Jakarta : PT. Raja Grafindo Persada.
Arivia, Gadis. 2006. Feminisme : Sebuah Kata Hati. Jakarta : Penerbit Buku Kompas.
Moore, Henrietta L. 1998. Feminisme Dan Antropologi. Jakarta : Penerbit OBOR.
Internet :
http://www.setneg.go.id.
http://situs.kesrepro.info/gendervaw/sep/2004/gendervaw03.htm.
Teger Prananda Bangun
Vellayati Hajad
Irfan Maulana
Yanoman F. purba
(Mahasiswa departemen Ilmu politik,Fisip USU)
BAB. I
PENDAHULUAN
A. LATAR BELAKANG.
Bangsa yang besar adalah bangsa yang selalu mengenang jasa para pahlawannya, selain itu juga sangat melindungi dan melestarikan budayanya, termasuk adat-istiadat bangsanya. Hal ini merupakan modal berharga bagi upaya pemantapan ketahanan mental spiritual dalam menghadapi pengaruh negatif yang dibawa oleh arus globalisasi yang terjadi pada saat ini. Apabila tidak kita waspadai, bukan tidak mungkin bahwa hal itu akan bisa menimbulkan erosi terhadap budaya bangsa kita.
Sejak Kebangkitan Nasional tahun 1908 sampai saat ini. Perempuan merupakan bagian dari bangsa Indonesia yang sejak dahulu kala berkiprah dalam berbagai bidang kehidupan. Karena itu, kita tidak boleh melupakan peranan perempuan Indonesia sebagai bagian dari perjuangan bangsa ini.
Perempuan Indonesia memiliki peranan dan kedudukan sangat penting sepanjang perjalanan sejarah. Kiprah perempuan di atas panggung sejarah tidak diragukan lagi. Gerakan kebangkitan nasional berhubungan dengan politik etis Hindia-Belanda yang memberi kesempatan bagi para pribumi untuk bersekolah. Sebenarnya maksud pemerintah Hindia-Belanda adalah untuk menghasilkan buruh-buruh terdidik, guru-guru, birokrat rendahan yang cukup terdidik, dokter-dokter yang mampu menangani penyakit menular pada bangsa pribumi/dan kaum kolonial khususnya. Tindakan ini dilakukan karena Hindia-Belanda harus menekan biaya operasional tanah jajahan (Indonesia) yang terlalu mahal bila menggunakan tenaga impor dari Belanda.
Meskipun yang diizinkan memasuki sekolah Belanda saat itu hanyalah kaum bangsawan, priyayi, dan kaum elite, ternyata para pemuda pribumi kemudian berbondong-bondong memasuki Sekolah Rakyat, HIS, MULO dan HBS, hingga sekolah dokter (STOVIA), dan sekolah guru (Kweekschool). Dengan bersekolah mereka mampu membaca buku-buku berbahasa Belanda dan Inggris. Buku-buku ini membuka mata dan hati pelajar dan mahasiswa tentang perjuangan pembebasan nasional di seluruh negeri di bumi ini. Dibukanya sekolah-sekolah Belanda untuk elite pribumi dan para ningrat, telah menghasilkan sekumpulan orang-orang muda berpendidikan Barat yang kelak menjadi tulang punggung gerakan pembebasan nasional.
Pencerahan dalam dunia pendidikan tersebut menggugah orang-orang muda untuk berkumpul, berbicara, berdiskusi dan menentukan. Tahun 1908 lahirlah organisasi yang dinamakan Budi Utomo. Sebelum Budi Utomo berdiri, telah lahir seorang pejuang perempuan, yaitu R.A. Kartini (1879-1904). Beliau adalah pelopor dan pendahulu perjuangan untuk pendidikan perempuan dan persamaan hak perempuan. Kartini berpendapat bahwa bila perempuan ingin maju dan mandiri, maka perempuan harus mendapat pendidikan. Kartini selama ini kita kenal sebagai seorang pejuang emansipasi perempuan, terutama di bidang pendidikan. Kartinilah yang membangun pola pikir kemajuan, dengan cara menggugah kesadaran orang-orang sejamannya, bahwa kaum perempuan harus bersekolah. Tidak hanya di Sekolah Rendah, melainkan harus dapat meneruskan ke sekolah yang lebih tinggi, sejajar dengan saudara-saudaranya yang laki-laki.
Gagasan-gagasan brilian dari Kartini tersebut kemudian diikuti oleh beberapa tokoh perempuan lainnya, seperti Raden Dewi Sartika yang mendirikan Sekolah Keutamaan Isteri di Bandung dan Rohanna Kudus yang mendirikan perusahaan penerbitan koran Soenting Malajoe. Namun Kartini sendiri tetap sebagai Sang Penggedor. Beliau adalah simbol gerakan perempuan Indonesia yang mengawali seluruh tradisi dan intelektual gerakan perempuan Indonesia, berikut gagasan paling awal dalam melihat ketertindasan rakyat di bawah feodalisme dan kapitalisme.
Setelah kebangkitan nasional, perjuangan perempuan semakin terorganisir. Seiring dengan terbentuknya berbagai organisasi nasional atau pun partai politik, maka pergerakan perempuan pun mulai terbentuk, baik sebagai sayap atau bagian dari organisasi perempuan yang sudah ada, atau pun membentuk wadah organisasi perempuan tersendiri yang dilaksanakan oleh perjuangan perempuan di satu sektor atau tingkat tertentu. Di sisi lain, perkembangan gerakan berbasiskan agama, seperti Muhammadiyah, turut pula membentuk polarisasi dalam gerakan perempuan, yaitu Aisyiah. Berbagai karya jurnalisme pun bertebaran, bukan hanya dalam Bahasa Belanda, melainkan terutama dalam bahasa Melayu. Sejalan dengan itu, kiprah sejumlah sastrawati mulai muncul ke permukaan. Gairah nasionalisme tengah mencari jalan untuk memodernisasikan dirinya. Gerakan perempuan pun terus berkembang dan menyesuaikan dinamikanya dengan perkembangan perjuangan bangsa Indonesia. Nasionalisme menjadi gagasan yang diterima di seluruh kekuatan politik yang ada, sehingga konsepsi persatuan menjadi lebih mudah untuk diwujudkan.
B. RUMUSAN MASALAH.
Dalam makalah kami ini, ada beberapa pokok pertanyaan yang mendasar yang kami coba untuk memaparkannya antara lain :
A. Seperti apakah kondisi pergerakan perempuan Indonesia terkhusus pasca kemerdekaan?
B. Bagaimana keterlibatan perempuan Indonesia dalam perjuangan bangsa Indonesia memperjuangkan dan mempertahankan integritas nasional terutama dalam perpolitikan Indonesia dan gerakan-gerakan sosial budaya setelah kemerdekaan?
C. Dan seberapa pentingkah peranan perempuan Indonesia bagi persatuan bangsa Indonesia?
BAB. II
PEMBAHASAN
A. AWAL PERGERAKAN PEREMPUAN INDONESIA.
Kebijakan politik etis telah membangkitkan semangat di kalangan kaum perempuan untuk bergerak dan berjuang mendapatkan persamaan hak pendidikan bagi perempuan. Buah dari semangat ini, berdirilah Poetri Mardika (1912), salah satu organisasi perempuan yang kelahirannya memang mendapat dukungan dari Boedi Oetomo (organisasi laki-laki). Dalam perkembangannya, Poetri Mardika pernah mengajukan mosi kepada Gubernur Jenderal pada tahun 1915 agar perempuan dan laki-laki diperlakukan sama di muka hukum.
Setelah itu, berdiri banyak perkumpulan perempuan baik yang didukung oleh organisasi laki-laki maupun yang terbentuk secara mandiri oleh perempuan sendiri misalnya, Pawiyatan Wanito (Magelang, 1915), Percintaan Ibu Kepada Anak Temurun—PIKAT (Manado, 1917), Purborini (Tegal, 1917), Aisyiyah atas bantuan Muhammadiyah (Yogyakarta, 1917), Wanito Soesilo (Pemalang, 1918), Wanito Hadi (Jepara, 1919), Poteri Boedi Sedjati (Surabaya, 1919), Wanito Oetomo dan Wanito Moeljo (Yogyakarta, 1920), Serikat Kaoem Iboe Soematra (Bukit Tinggi, 1920), Wanito Katolik (Yogyakarta, 1924). (Sukanti Suryochondro: 1995). Dalam catatan sejarah, hampir setiap organisasi perempuan ini menerbitkan majalah mereka sendiri sebagai media untuk membentuk opini publik sehingga gagasan-gagasan mereka terkomunikasikan ke dalam masyarakat luas.
Secara umum sifat tujuan organisasi tersebut adalah sosial dan kultural, memperjuangkan nilai-nilai baru dalam kehidupan keluarga dan masyarakat, mempertahankan ekspresi kebudayaan asli melawan aspek-aspek kebudayaan Barat yang tidak sesuai. Hampir tidak ada sumber yang bisa dilacak kegiatan politik macam apa, kecuali catatan-catatan yang lebih menunjukkan pada kegiatan-kegiatan sosial-budaya.
Gerakan nasionalisme juga berkobar di kalangan organisasi perempuan, dan pada tanggal 22 Desember 1928, diadakan Kongres Perempuan Indonesia I di Yogyakarta. Kongres ini melahirkan semacam federasi organisasi perempuan dengan nama Perikatan Perkumpulan Perempuan Indonesia (PPPI) dan pada tahun 1929, setahun setelah terbentuknya, diganti menjadi Perikatan Perkumpulan Istri Indonesia (PPII). Pada awal berdirinya, upaya-upaya yang dilakukan adalah perhatian pada lingkungan keluarga dan masyarakat, kedudukan perempuan dalam hukum perkawinan (Islam), pendidikan dan perlindungan anak-anak, pendidikan kaum perempuan, perempuan dalam perkawinan, mencegah perkawinan anak-anak, nasib yatim piatu dan janda, pentingnya peningkatan harga diri perempuan, dan kejahatan kawin paksa. Perhatian ini meluas, misalnya pada tahun 1935 dibentuk Badan Penyelidikan Perburuhan Kaum Perempuan, salah satunya rapat umum untuk perempuan buruh batik di Lasem Jawa Tengah, membentuk Badan Pemberantasan Buta Huruf, Badan Pemberantasan Perdagangan Perempuan dan Anak-anak.
Setelah Kongres Perempuan Indonesia tingkat nasional pertama, organisasi perempuan semakin berkembang, yang ditandai dengan makin banyaknya jenis gerakan perempuan dan semakin terbuka wawasannya. Pada periode sebelumnya, lingkup kegiatan hampir semua organisasi perempuan hanya meliputi masalah emansipasi dan usaha menjadikan perempuan lebih sempurna dalam menjalankan peran tradisionalnya sebagai perempuan. Pada periode ini mulai muncul organisasi-organisasi yang membuka wawasan perempuan melampaui lingkup rumah tangga dan keluarga. Organisasi-organisasi baru ini menjadikan masalah-masalah politik dan agama sebagai pokok perhatiannya. Padahal sebelumnya semua organisasi yang bergabung dalam PPPI (Perikatan Perkumpulan Perempuan Indonesia) menolak mencampuri urusan politik dan agama.
Dalam Kongres Perempuan II, Maret 1932, isu nasionalisme dan politik muncul, selain soal perdagangan peremuan, hak perempuan dan penelitian keadaan sanitasi di kampung serta tingginya angka kematian bayi. Ki Hajar Dewantara, dalam pidatonya mengatakan, sangat terkesan dengan perjuangan feminis di Turki, Cina, Persia, dan India, yang memberikan kontribusi sangat besar bagi suksesnya perjuangan nasional di negara mereka. Dua tahun sebelum Kongres II ini, pada tahun 1930, Suwarni Pringgodigdo, mendirikan organisasi perempuan yang aktif dalam perjuangan politik, yaitu Istri Sedar di Bandung dan menerbitkan jurnal Sedar. Perjuangan lain, adalah upaya gerakan perempuan untuk menentang poligami yang dipandang merugikan perempuan.
Pada Kongres Perempuan III, setelah melakukan pembubaran PPII, mulai dimunculkan isu tentang hak suara perempuan. Perempuan terus memperjuangkan hak politik atau keterwakilan perempuan, dengan memperjuangkan Maria Ulfa menjadi anggota Volksraad, meskipun gagal. Maria Ulfa kemudian terpilih menjadi menteri Sosial pada Kabinet Syahrir II (1946) dan S.K. Trimurti menjadi menteri Perburuhan pada Kabinet Amir Sjarifuddin (1947-1948). Pada pemilu 1955, gerakan perempuan Indonesia berhasil menempatkan perempuan sebagai anggota parlemen.
Pada zaman Pendudukan Bala Tentara Jepang (1942-1945), penjajah Jepang melarang semua bentuk organisasi, termasuk organisasi perempuan dan membubarkannya. Kemudian dibentuk organisasi-organisasi baru dengan dalih sebagai propaganda untuk kepentingan dan kemakmuran bangsa-bangsa Asia Timur Raya. Untuk organisasi perempuan yang dibentuk oleh para isteri pegawai di daerah-daerah, dan diketuai oleh isteri masing-masing kepala daerah, dan disebut Fujinkai. Kegiatan Fujinkai dibatasi hanya pada urusan-urusan keperempuanan dan peningkatan keterampilan domestik, selain kegiatan menghibur tentara yang sakit dan kursus buta huruf. Bagi para perempuan yang mempunyai wawasan luas, pembatasan ini merisaukan dan mereka tidak ikut masuk Fujinkai. Kenyataan ini menjadikan adanya dua jenis orientasi di kalangan aktivis perempuan, yaitu mereka yang berkooperasi dengan pemerintah bala tentara Dai Nippon dan yang non-kooperatif atau memilih bergerak diam-diam di bawah tanah.
B. PERGERAKAN PEREMPUAN PASCA KEMERDEKAAN INDONESIA.
Setelah kemerdekaan, organisasi perempuan kembali bergerak, akan tetapi karena pada awal kemerdekaan Negara Republik Indonesia masih diliputi oleh perjuangan mempertahankan kemerdekaan, maka perjuangan perempuan Indonesia adalah mendukung para pejuang dalam gerilya atau pertempuran. Pada tahun 1946, organisasi perempuan mulai tumbuh, baik sebagai organisasi yang baru maupun kebangkitan kembali yang telah ada. Gerakan perempuan pasca kemerdekaan (masa Soekarno) ini, di samping tetap memperjuangkan agenda-agenda, termasuk pasca pemberangusan di zaman Jepang, mereka terus memperjuangkan kesamaan politik, hak memperoleh pendidikan dan kesempatan bekerja. Persoalan yang dihadapi adalah tindakan diskriminatif antara laki-laki dan perempuan. Pada masa ini, meski demikian, hak politik yang sama setidaknya secara legal telah dijamin dalam pasal 27 UUD 45. Lalu lahir UU 80/1958, yang menjamin adanya prinsip pembayaran yang sama untuk pekerjaan yang sama, perempuan dan laki-laki tidak dibedakan dalam sistem penggajian.
Selanjutnya setelah di Indonesia diperbolehkan mendirikan partai politik, maka sejumlah perempuan masuk menjadi anggota partai politik, bahkan pada tahun 1948 sempat berdiri Partai Wanita Rakyat atas inisiatif Ibu Sri Mangunsarkoro di Yogyakarta. Partai ini berazaskan ke-Tuhan-an, kerakyatan, kebangsaan dan mempunyai program perjuangan yang sangat militan. Demikian juga dengan keputusan kongres Kowani pada tahun 1948 dan 1949, sangat sarat dengan muatan politis dan dengan semangat yang militan untuk mempertahankan kemerdekaan Indonesia. Sampai dengan tahun 1950, hasil politik yang dicapai kaum perempuan cukup banyak. Anggota Dewan Perwakilan Rakyat pun meningkat. Hal inilah yang memungkinkan perempuan untuk turut dalam pengambilan keputusan dan pembuatan undang-undang. Demikian juga di bidang eksekutif, pada tahun 1950 telah diangkat dua orang menteri perempuan, yaitu Ny. Maria Ulfah Santoso sebagai Menteri Sosial dan Ny. S.K. Trimurti sebagai Menteri Perburuhan.
Setelah tahun 1950, organisasi perempuan berkembang seiring dengan berkembangnya partai-partai di Indonesia. Banyak organisasi perempuan yang menjadi bagian perempuan dari suatu partai, seperti Wanita Marhaenis, Gerakan Wanita Sosial, Gerwani, dan lain-lain.
Ada pula partai yang bergerak dan merupakan bagian dari organisasi keagamaan, seperti Aisyiah, Wanita Katolik, selain itu juga organisasi perempuan yang berdiri sendiri tanpa ikatan dengan partai lain, seperti Perwari, dan banyak lagi organisasi perempuan yang bergerak di bidang sosial dan kesejahteraan masyarakat.
Pada tahun 1952, lahir organisasi yang menghimpun para isteri Kementerian Dalam Negeri yang sifatnya nonpolitik, namun tetap mengikuti perkembangan zaman. Selain dari isteri pegawai Departemen Dalam Negeri, masing-masing departemen juga membentuk perkumpulan isteri pegawainya, sehingga seluruhnya ada 19 organisasi isteri pegawai di masing-masing departemen, misalnya, Artha Kencana (Dep.Keuangan), Idhata (Dep. Pendidikan dan Kebudayaan), dan lain-lain.
C. PERANAN PEREMPUAN DALAM PERPOLITIKAN PASCA KEMERDEKAAN INDONESIA.
Bila kita membicarakan peran politik perempuan, kita tidak mengartikan politik secara sempit seperti melihat politik dalam kaca mata formal di bidang legislatif, eksekutif,dan yudikatif. Eksistansi politik terwujud dalam aspek kehidupan bersama dalam tingkat lokal, dan kepekaan terhadap permasalahan yang ada. Partisipasi perempuan dalam politik secara aktif, menyumbangkan pemikiran sampai kepekaan yang tinggi terhadap permasalahan politik yang sangatlah diperlukan.
Partisipasi politik menurut H. Mc Closky merupakan kegiatan sukarela dari warga negara melalui mana mereka mengambil bagian dalam proses pemilihan penguasa secara langsung atau tidak langsung dalam proses pembentukan kebijakan umum (M. Budiardjo, 2008, Hal 367).
Ada alasan yang penting bagi perempuan untuk berpartisipasi dalam politik, yaitu:
1. Perempuan memiliki pengalaman khusus yang dipahami dan dirasakan oleh perempuan. Seperti isu diskriminasi, marginalisasi, kesehatan reproduksi, isu kekerasan dalam rumah tangga, isu kekerasan perempuan dan lain-lain.
2. Partisipasi perempuan diharapkan dapat mencagah kondisi yang tidak menguntungkan perempuan dalam mengatasi permasalahan stereotipe terhadap perempuan, diskriminasi di bidang hukum, kehidupan sosial dan kerja, marginalisasi di dunia karir, dan eksploitasi yang terjadi pada perempuan.
3. Partisipasi perempuan dalam pengambilan keputusan politik dapat berpengaruh pada pengambilan keputusan politik yang mengutamakan perdamaian. Politik perempuan diharapkan membawa nilai-nilai penyeimbang yang mengatasi perkelahian dengan solusi berembuk, mengubah kompetisi menjadi kerjasama.
Partisipasi politik perempuan sangat dibutuhkan dalam upaya pengintegrasian kebutuhan gender dalam berbagai kebijakan publik dan menggolkan instrumen hukum yang sensitif gender yang selama ini terabaikan dan banyak menghambat kemajuan perempuan di berbagai sektor kehidupan.
Budaya patriarki memosisikan perempuan pada peran-peran domestik seperti peran pengasuhan, pendidik, dan penjaga moral. Sementara itu, peran laki-laki sebagai kepala rumah tangga, pengambil keputusan, dan pencari nafkah. Perpanjangan dari berbagai peran yang dilekatkan pada perempuan tersebut maka, arena politik yang sarat dengan peran pengambil kebijakan terkait erat dengan isu-isu kekuasaan yang identik dengan dunia laki-laki. Apabila perempuan masuk ke panggung politik kerap dianggap sesuatu yang kurang lazim atau tidak pantas bahkan arena politik dianggap dunia yang keras, sarat dengan persaingan bahkan terkesan sangat ambisius.
Kalau ditelusuri tingkat keterwakilan perempuan di badan legislatif semenjak 1950 sampai dengan pemilu 1999, hal tersebut belum menunjukkan perubahan yang signifikan.
BAB. III
PENUTUP
KESIMPULAN.
Perempuan Indonesia merupakan bagian yang tidak dapat terpisahkan dari diri bangsa ini. Kendatipun, sejarah mencatat bahwa pandangan-pandangan patriaki telah memposisikan perempuan Indonesia pada kasta kedua dibawah laki-laki. Peranan perempuan pun hanya sekedar peranan dalam rumah tangga, tanggung jawab kodrati yakni mengurus anak, serta mengurus kebutuhan mendasar keluarga.
Ketika, pemerintah kolonial Hindia-Belanda menerapkan kelonggaran untuk memberikan pendidikan kepada kaum pribumi, perempuan masih belum dapat mengecap pendidikan sebagaimana mestinya. Dunia pendidikan yang ditawarkan oleh pemerintah kolonial kala itu, hanya menawarkan diri kepda kaum laki-laki dari golongan bangsawan dan priyayi. Tidak bagi kasta rendahan apalagi kaum perempuan Indonesia.
Dengan keteguhan dan semangat tinggi, kaum perempuan Indonesia merobohkan simbol-simbol budaya yang menuntut mereka berada di bawah kaum laki-laki. Adalah R.A Kartini yang menjadi simbol penuntun ke arah penyamaan dan kesetaraan hak-hak kaum laki-laki dengan kaum perempuan di segala bidang.
Seiring perjalanan sejarah bangsa Indonesia, tercatat perempuan memiliki andil besar dalam perjuangan kemerdekaan Bangsa Indonesia dan pula memiliki peranan dalam perpolitikan bangsa ini pasca kemerdekaan. Kaum perempuan telah memberi warna kepada perjuang bangsa dan mendukung perjuangan tersebut kearah yang terintegrasi dalam semangat persatuan dan kesatuan.
Perempuan-perempuan yang tergabung dalam berbagai organisasi perempuan pada awalnya hanya menuntut kesetaraan dengan kaum laki-laki. Namun Dengan keterpaduan, mereka ikut bahu-membahu kaum laki-laki dalam memperjuangkan mewujudkan bangsa Negara Indonesia yang merdeka dan berdaulat. Tak segan-segan mereka ikut turun ke hutan-hutan untuk bergerilya dan meninggalkan dapur dan kompor untuk mengangkat senjata menentang penjajah. Setelah kemerdekaan tercapai, kaum perempuan masih belum mendapat porsi yang pantas dalam perpolitikan, padahal kaum perempuan memiliki potensi untuk menjadi penyeimbang perpolitikan dalam mewujudkan musyawarah mufakat dalam mencapai keputusan.
Selain itu, dalam penentuan kebijakan, pemikiran perempuan sangatlah dibutuhkan sebab pada kondisi-kondisi masyarakat tertentu, kaum perempuan lebih peka daripada kaum laki-laki dalam mempertimbangkan muara kebijakan yang akan diambil oleh pemerintahan kala itu. Jadi tidaklah terlalu berlebihan bila kita mencoba untuk memberikan porsi yang pantas terhadap kaum permpuan dalam perpolitikan dan sudah saatnya menyingkirkan streotipe dalam masyarakat yang menunjukan bahawa laki-laki lah yang superior daripada kaum perempuan. Sebab baik laki-laki dan perempuan merupakan suatu hal yang saling melengkapi, saling mendukung seperti kala memperjuangkan kemerdekaan Indonesia lewat kekuatan senjata.
DAFTAR PUSTAKA
Sihite, Romany. 2007. Perempuan, Kesetaraan, Keadilan: Suatu Tinjauan Berwawasan Gender Karangan. Jakarta : PT. Raja Grafindo Persada.
Arivia, Gadis. 2006. Feminisme : Sebuah Kata Hati. Jakarta : Penerbit Buku Kompas.
Moore, Henrietta L. 1998. Feminisme Dan Antropologi. Jakarta : Penerbit OBOR.
Internet :
http://www.setneg.go.id.
http://situs.kesrepro.info/gendervaw/sep/2004/gendervaw03.htm.
Selasa, 09 Maret 2010
Organisasi Konferensi Islam (OKI)
OKI merupakan organisasi Negara-negara Islam dan negara-negara yang mayoritas penduduknya beragama Islam yang dibentuk sebagai reaksi terhadap pembakaran mesjid Al Aqsa oleh Israel pada tanggal 21 Agustus 1969 yang merupakan salah satu tempat suci umat Islam, selain Mekkah dan Madinah serta bentuk penolakan terhadap pendudukan wilayah-wilayah arab oleh Israel termasuk pula penguasaan atas Yerussalem semenjak tahun 1967.
Latar belakang dan sejarah terbentuknya OKI
Pendudukan Israel atas wilayah-wilayah arab khususnya kota Yerusalem semenjak tahun 1967 telah menimbulkan kekawatiran bagi negara-negara arab dan umat Islam akan tindakan-tindakan yang mungkin dilakukan Israel terhadap wilayah pendudukannya termasuk di Yerusalem yang didalamnya berdiri mesjid Al Aqsa. Pada tanggal 21 Agustus 1969 kekawatiran Negara-negara arab dan umat Islam terbukti dengan tindakan Israel yang membakar mesjid Al aqsa. Pembakaran mesjid Al Aqsa tersebut menimbulkan reaksi dari pemimpin negara arab khususnya Raja Hasan II dari Maroko, menyerukan para pemimpin negara-negara arab dan umat Islam agar bersama-sama menuntut Israel bertanggungjawab atas pembakaran mesjid Al Aqsa tersebut Seruan Raja Hasan II dari Maroko mendapat sambutan dari Raja Faisal dari Arab Saudi dan Liga Arab, yang langsung ditindaklanjuti dengan pertemuan para duta besar dan menteri luar negeri liga arab pada tanggal 22-26 Agustus 1969 yang berhasil memutuskan :
• Tindakan Pembakaran mesjid Al Aqsa oleh Israel merupakan suatu kejahatan yang tidak dapat diterima.
• Tindakan Israel tesebut merongrong kesucian umat Islam dan Nasrani serta mengancam keamanan Arab.
• Mendesak agar segera dilakukan Konfrensi Tingkat Tinggi negara-negara Islam.
Untuk merealisasikan hasil-hasil pertemuan diatas kemudian dibentuklah panitia penyelenggara KTT Negara-negara Islam oleh Arab Saudi dan Maroko berangotakan; Malaysia, Palestina, Somali dan Nigeria, dan pada tanggal 22-25 September 1969 dilangsungkan Konfrensi Tingkat Tinggi negara-negara Islam dihadiri 28 negara dan menghasilkan beberapa keputusan penting diantaranya :
1. Mengutuk pembakaran mesjid Al Aqsa oleh Israel
2. Menuntut pengembaliam kota Yerusalem sebagaimana sebelum perang tahun 1967.
3. Menuntut Israel untuk menarik pasukannya dari seluruh wilayah arab.
4. Menetapkan pertemuan menteri luar negeri di Jeddah Arab Saudi pada bulan Maret 1970.
Tujuan OKI
1. Memelihara dan meningkatkan solidaritas diantara negara-negara anggota dalam bidang ekonomi, sosial, budaya, ilmu pengetahuan politik dan pertahanan keamanan.
2. Mengkoordinasikan usaha-usaha untuk melindungi tempat-tempat suci.
3. Membantu dan bekerjasama dalam memperjuangkan kemerdekaan rakyat Palestina.
4. Berupaya melenyapkan perbedaan rasial, diskriminasi, kolonialisme dalam segala bentuk.
5. Memperkuat perjuangan umat Islam dalam melindungi martabat umat, dan hak masing-masing negara Islam.
6. Menciptakan hubungan kerjasama yang harmonis, saling pengertian antar negara OKI dan Negara-negara lain.
Struktur organisasi OKI
Struktur organisasi terdiri dari :
1. Badan utama meliputi :
• KTT para raja dan Kepala negara/pemerintahan
• Sekretaris Jenderal sebagai badan eksekutif
• Konferensi para Menteri luar negeri
• Mahkamah Islam Internasional sebagai badan Yudikatif
• Komite-komite khusus, meliputi :
• komite Al-Quds
2. komite social, ekonomi dan budaya
3. Badan-badan subsider meliputi:
a). Bidang Ekonomi terdiri dari:
1. Pusat Riset dan latihan sosial ekonomi berpusat di Ankara (Turki).
2. Pusat Riset dan latihan teknik berpusat di Dhakka (Bangladesh)
3. Kamar Dagang Islam berpusat di Casablanca (Maroko).
4. Dewan Penerbangan Islam berpusat di Tunis (Tunisia).
5. Bank Pembangunan Islam berpusat di Jeddah (Arab Saudi).
b). Bidang Sosial Budaya terdiri dari:
1. Dana Solidaritas Islam berpusat di Jeddah (Arab Saudi)
2. Pusat Riset Sejarah dan Budaya Islam berpusat di Istambul (Turki).
3. Dana Ilmu, teknologi dan Pembangunan berpusat di Jeddah (Arab Saudi).
4. Komisi Bulan Sabit Islam berpusat di Bengasi (Libya)
5. Komisi Warisan Budaya Islam berpusat di Istambul (Turki).
6. Kantor Berita Islam Internasional berpusat di Jeddah (Arab Saudi).
Anggota - Anggota OKI
Organisasi Konfrensi Islam (OKI) pada saat pembentukannya memiliki anggota 28 Negara dan terus mengalami pertambahan, hingga dewasa ini anggota OKI berjumlah 46 negara yang berasal dari kawasan Asia Barat, Asia Tengah, Asia Tenggara, Afrika. Negara-negara anggota OKI adalah : Arab Saudi, Maroko, Aljazair, Bahrain, Libya, Mauritania, Djiboti, Mesir, Suriah, Tunisia, Yaman, Yordania, Oman, Qatar, Somalia, Irak, Lebanon, Kuwait, Uni Emirat Arab, Palestin, Afganistan, Bangladesh, Iran, Pakistan, Maladewa, Turki,Azerbaijan, Indonesia, Malaysia, Brunai Darussalam, Nigeria, Mali, Niger, Senegal, Uganda, Siera Leone, Guinea issau, Gabon, Gambia, Chad, Comoros, Camerun, Burkina Faso, Benin.
Kegiatan OKI
Adapun kegiatan yang dilakukan OKI selalu dalam rangka memperjuangkan kepentingan umat Islam, negara-negara anggota, memelihara perdamaian, ketentraman dan kesejahteraan dunia, memperjuangkan kemerdekaan Palestina, baik dalam kegiatan politk, ekonomi dan sosial budaya. Adapun tantangan yang dialami OKI sampai sekarang antara lain:
1. Meminimalisasi perbedaan orientasi politik diantara negara anggota OKI
2. Mengubah dan menghapuskan salah penafsiran dunia Barat terhadap Islam yang selalu negatif, seperti mengaikkan Islam, dengan kegiatan Fundamentalis, Terorisme, dan kekerasan lainya.
3. Meningkatkan rasa persatuan dan kesatuan serta Solidaritas antar Anggota OKI.
4. Meningkatkan Kerjasama dalam berbagai bidang untuk kemajuan dan kesejahteraan rakyat seluruh negara anggota OKI.
5. Mengupayakan terus-menerus agar kemerdekaan dan kedaulatan rakyat Pelestina.
Perkembangan Organisasi Konferensi Islam (OKI)
Sebagai organisasi internasional yang pada awalnya lebih banyak menekankan pada masalah politik, terutama masalah Palestina, dalam perkembangannya OKI menjelma sebagai suatu organisasi internasional yang menjadi wadah kerjasama di berbagai bidang politik, ekonomi, sosial, budaya dan ilmu pengetahuan antar negara-negara muslim di seluruh dunia.
Untuk menjawab berbagai tantangan yang mengemuka, negara-negara anggota OKI memandang revitalisasi OKI sebagai permasalahan yang mendesak. Semangat dan dukungan terhadap perlunya revitalisasi OKI dilatarbelakangi oleh kenyataan bahwa struktur dan kinerja organisasi OKI dinilai belum efisien dan efektif. Dalam kaitan ini, telah diadakan rangkaian pertemuan yang berhasil mengkaji dan melakukan finalisasi TOR restrukturisasi OKI yang disiapkan oleh Malaysia.
Pada pertemuan tingkat Kepala Negara/Kepala Pemerintahan (KTT) ke-10 di Putrajaya, Malaysia, 11-17 Oktober 2003, OKI sepakat untuk memulai upaya kongkrit dalam merestrukturisasi Sekretariat OKI terutama pada empat aspek: perampingan struktur, metodologi, peningkatan kemampuan keuangan dan sumber daya manusia. KTT Luar Biasa OKI ke-3 di Mekkah, Arab Saudi pada 7-8 Desember 2005 telah mengakomodir keinginan tersebut dan dituangkan dalam bentuk Macca Declaration dan OIC 10-years Program of Actions yang meliputi restrukturisasi dan reformasi OKI, termasuk perumusan Statuta OKI baru yang diharapkan dapat dilaksanakan sebelum tahun 2015.
OIC 10-years Program of Actions merupakan awal perubahan OKI yang tidak hanya menfokuskan pada masalah politik tetapi juga ekonomi perdagangan. Program Aksi 10 tahun OKI mencakup isu-isu politik dan intelektual, isu-isu pembangunan, sosial, ekonomi dan ilmu pengetahuan yang diharapkan dapat menjawab kesenjangan kesejahteraan umat. Di bidang politik dan intelektual, dalam 10 tahun OKI diharapkan mampu menangani berbagai isu seperti upaya membangun nilai-nilai moderasi dan toleransi; membasmi ekstrimisme, kekerasan dan terorisme; menentang Islamophobia; meningkatkan solidaritas dan kerjasama antar negara anggota, conflict prevention, peanganan masalah Filipina, hak-hak kelompok minoritas dan komunitas muslim, dan masalah-masalah yang dialami Afrika.
KTT OKI ke-11 berlangsung antara tanggal 13-14 Maret dan bertemakan “The Islamic Ummah in the 21st Century” menghasilkan dokumen utama, yaitu: Piagam OKI, Final Communiqué dan sejumlah resolusi. Final Communiqué mengangkat isu antara lain mengenai politik, keamanan, Palestina, minoritas muslim seperti Kosovo, terorisme, ekonomi, sosial budaya, hukum, iptek dan sosial budaya. Sedangkan resolusi terkait yang berhubungan dengan keamanan global/ regional antara lain: Resolutions on the Cause of palestine, the City of Al-Quds Al Sharif, and the Arab-Israel Conflict, Resolutions on Political Affairs, Resolutions on Muslim Communities and Minorities in Non-OIC Member States. Piagam Baru tersebut pada intinya merupakan penegasan bagi OKI untuk mengeksplorasi bentuk kerjasama yang lain dan tidak hanya terbatas pada kerjasama politik saja.
Dalam kesempatan menghadiri KTT OKI ke-14, 13-14 Maret 2008, Presiden RI dalam pidatonya menyampaikan antara lain:
1. Dukungan terhadap OIC’s Ten-Year Plan of Action yang merupakan cerminan pragmatisme OKI dalam menghadapi tantangan dan permasalahan umat
2. konflik Palestina-Israel merupakan penyebab utama krisis di Timur Tengah dan juga merupakan tantangan serius perdamaian dan keamanan internasional. Terkait dengan hal ini, Presiden Indonesia menyambut baik hasil Konferensi Annapolis pada bulan Desember 2007, terutama mengingat adanya joint understanding untuk mendirikan negara Palestina pada akhir tahun 2008
3. potensi kapasitas negara-negara anggota OKI dapat diberdayakan dalam memainkan perannya dalam upaya memelihara perdamaian dan keamanan global, pemberantasan kemiskinan dan percepatan pembangunan
4. Islam, demokrasi, dan modernitas maupun HAM adalah compatible
5. Islam adalah agama perdamaian dan toleran. Upaya interfaith dan inter-civilization dialogue perlu didukung dalam mengurangi persepsi yang salah dan ketakutan terhadap Islam (Islamophobia) di kalangan Barat
6. pembangunan umat Islam harus memperhatikan aspek lingkungan. Dapat disampaikan bahwa wakil Asia, Afrika, dan Arab juga memiliki pandangan yang kurang lebih sama.
Selanjutnya, dalam KTM ke-35 OKI dengan tema Prosperity and Development di Kampala, Uganda, tanggal 18-20 Juni 2008, telah dilakukan penandatanganan Piagam Baru OKI oleh para Menteri Luar Negeri, termasuk Menteri Luar Negeri RI. Indonesia sangat mendukung proses revitalisasi OKI dan menginginkan agar OKI dapat semakin efektif dalam menanggapi berbagai perubahan dan tantangan global sesuai dengan tujuan pembentukannya. Sebagai negara dengan penduduk Islam terbesar di dunia, Indonesia senantiasa berpartisipasi aktif dalam OKI dengan tujuan akhir untuk mendorong proses good governance di dunia Islam untuk menjadikan OKI sebagai organisasi yang kredibel, kompeten, dan diakui perannya di dunia internasional.
Pertemuan ke-36 Dewan Menteri Luar Negeri OKI (PTM ke-36 OKI) yang dilaksanakan di Damaskus, tanggal 23-25 Mei 2009 membahas isu-isu kerjasama yang menjadi perhatian bersama seperti politik; komunitas muslim di negara bukan anggota OKI; kemanusiaan (humanitarian affairs); hukum; masalah-masalah umum dan keorganisasian; informasi; ekonomi; ilmu pengetahuan dan teknologi; da’wah; sosial budaya; dan administrasi serta keuangan. Dalam kesempatan tersebut Menlu RI menyampaikan pokok-pokok pidato antara lain mengenai perlunya diintensifkan pelaksanaan reformasi OKI, khususnya di bidang demokrasi, good governance, dan HAM termasuk hak-hak wanita, sesuai dengan mandat Program Aksi 10 Tahun OKI (TYPOA) dan Piagam Baru OKI, disamping isu Palestina, kerjasama perdagangan dan pelibatan sektor swasta di antara negara anggota, serta,sebagai Ketua PCSP-OIC, melaporkan perkembangan proses perdamaian di Filipina Selatan terkait dengan pelaksanaan pertemuan Tripartite antara Pemerintah Filipina-MNLF-OKI yang merundingkan implementasi sepenuhnya Perjanjian Damai 1996.
Peran Pemri yang menonjol lainnya dalam OKI adalah dalam rangka memfasilitasi upaya penyelesaian konflik antara Pemerintah Filipina (GRP) dengan Moro National Liberation Front (MNLF) dengan mengacu kepada Final Peace Agreement / Perjanjian Damai 1996. Peran Indonesia saat ini adalah sebagai Ketua Organization Islamic Conference Peace Committee for the Southern Philippines (PCSP-OIC). Adapun hasil penting terakhir adalah diadakannya Pertemuan JWGs ke-2 antara GRP dan MNLF difasilitasi PCSP-OIC pada tgl. 19-28 Agustus 2008, bertempat di KBRI-Manila. Sebagai tindaklanjutnya, Pertemuan Tripartite ke-3 antara GRP, MNLF dan PCSP-OIC direncanakan diselenggarakan pada bulan Januari ataupun Pebruari 2009. Dengan pelaksanaan proses-proses sebagaimana dimaksud, diharapkan akan membantu tercapainya proses pencapaian penyelesaian konflik secara damai di kawasan Filipina Selatan dan memberikan situasi aman dan bebas dari konflik di kawasan dimaksud.
Lebih lanjut, dalam berbagai forum internasional, termasuk OKI, Indonesia telah memberikan dukungan bagi berdirinya Negara Palestina yang merdeka dan berdaulat dengan Yerusalem sebagai ibukotanya. Realisasi dari dukungan tersebut diwujudkan dalam bentuk dukungan diplomatik, yaitu pengakuan terhadap keputusan Dewan Nasional Palestina (Palestinian National Council) untuk memproklamirkan Negara Palestina pada tanggal 15 Nopember 1988. Dukungan kemudian dilanjutkan dengan pembukaan hubungan diplomatik antara Pemerintah RI dan Palestina pada tanggal 19 Oktober 1989. Di samping itu, Indonesia adalah anggota “Committee on Al Quds (Yerusalem)”yang dibentuk pada tahun 1975.
Selain itu, Isu terorisme juga telah menjadi perhatian utama OKI. Komitmen OKI untuk mengatasi masalah terorisme terlihat antara lain pada The Extraordinary Session of the Islamic Conference of Foreign Ministers on Terrorism di Kuala Lumpur, Malaysia, 1-3 April 2002 yang menghasilkan Kuala Lumpur Declaration on International Terrorism. Deklarasi tersebut pada intinya menekankan posisi negara-negara anggota OKI dalam upaya untuk memerangi terorisme dan upaya-upaya untuk mengkaitkan Islam dengan terorisme. Terorisme merupakan salah satu isu di mana OKI memiliki sikap bersama pada pembahasan di forum SMU PBB. Hal ini terkait dengan implementasi UN Global Counter-Terrorism Strategy dan penyelesaian draft konvensi komprehensif anti terorisme internasional di mana menyisakan outstanding issue pada definisi terorisme. Inti posisi OKI menekankan perlunya dibedakan antara kejahatan terorisme dengan hak sah perlawanan rakyat Palestina untuk merdeka. Dalam kaitan ini maka penyelesaian politik konflik Palestina secara adil akan memberikan sumbangan bagi pemberantasan the root causes of terrorism.
SUMBER:
http://www.deplu.go.id/Pages/IFPDisplay.aspx?Name=MultilateralCooperation&IDP=4&P=Multilateral&l=id
http://akrabsenada.site40.net/12ipabab2.html
http://id.wikipedia.org/wiki/Organisasi_Konferensi_Islam
Rabu, 10 Februari 2010
TIGA PILAR ASEAN COMMUNITY (KOMUNITAS ASEAN) 2015
Association of South East Asian Nation (ASEAN), merupakan organisasi negara-negara Asia Tenggara yang dibentuk pada tanggal 8 Agustus 1967 melalui deklarasi Bangkok. Pada tanggal 7 Oktober 2003, melalui Deklaration of ASEAN Concord II yang dihasilkan pada Pertenuan Puncak ASEAN ke-9, di Bali, para pemimpin Negara-negara ASEAN memproklamirkan pembentukan komunitas ASEAN (ASEAN Community) yang terdiri atas tiga pilar yaitu: Komnitas Keamanan ASEAN (ASEAN Security Community-ASC), Komunitas Ekonomi ASEAN (ASEAN Economic Community-AEC), dan Komunitas Sosial-Budaya ASEAN (ASEAN Socio-Cultural Community-ASCC). Tiga pilar pendukung Komunitas ASEAN ini menjadi paradigma baru yang akan menggerakkkan kerjasama ASEAN ke arah sebuah komunitas dan identitas baru yang lebih mengikat.
A. Masyarakat Keamanan ASEAN ( ASEAN Security Community-ASC )
Masyarakat Keamanan ASEAN (ASEAN Security Community-ASC) adalah suatu masyarakat yang secara khusus mengandalkan proses damai dalam menyelesaikan perselisihan yang mungkin terjadi di antara sesama anggota. Masyarakat Keamanan ASEAN berpegang pada prinsip-prinsip non-interfensi, pengambilan keputusan berdasarkan mufakat, ketahanan nasional dan regional, saling menghormati kedaulatan nasional, penghindaran penggunaan ancaman ataupun penggunaan ataupun kekuatan dan penyelesaian perbedaan maupun perselisihan secara damai. Sasaran kerjasama keamanan diarahkan pada upaya-upaya menangkal persengketaan diantara sesama Negara anggota maupun antara Negara anggota dengan Negara-negara non-ASEAN, mencegah ekskalasi persengketaan itu menjadi konflik.
Dalam membangun Masyarakat Keamanan ASEAN, terdapat fondasi-fondasi konseptual yang terdiri atas tiga tataran, yaitu :
Tataran pertama, terdapat kondisi-kondisi yang mempercepat terbentuknya komunitas keamanan, yaitu terjadinya perubahan teknologi dan adanya ancaman dari luar, menyebabkan Negara-negara membentuk aliansi dan muncul hasrat untuk mengurang ketakutan bersama melalui koordinasi keamanan. Namun, berbeda denagn aliansi militer yang ditujukan untuk mengahdapi ancaman dari luar, komunitas keamanan lebih ditujukan untuk menghadapi ancaman dari dalam komunitas itu sendiri dan tidak bertujuan membangun aliansi militer untuk menghadapi ancaman dari luar. Selain itu, perubahan demografi, ekonomi, dan berkembangnya interpretasi baru mengenai realitas sosia menyebabkan Negara-negara melirik arah yang diambil oleh masing-masing Negara dan berupaya untuk mencaai keuntungan bersama. Pada tataran ini Negara-negara sudah mulai mengesampinakan ancaman militer dan lebih memfokuskan diri pada kerjasama non-militer, seperti pada bidang ekonomi, social dan budaya. Pada tataran pertama ini masih terbentuk rasa saling percaya.
Pada tataran kedua factor-faktor kondusif untuk membangun rasa saling percaya dan identitas kolektif melalui interaksi lansung yang amat sering dalam berbagai pertemuan bersama, barulah terjadi pembelajaran social dan bangunan organisasi. Pada proses tersebut, dibutuhkan adanya kekuatan dan pengetahuan mengenai sesamanya. Kekuatan bukan dalam artian hard-power semata, melainkan lebih penting lagi yaitu soft-power. Paduan antara soft-power dan pengetahuan, mengenai sesame anggota komunitas, apa yang menjadi kepentingan bersama serta kepentingan diri masing-masing anggota komunitas, merupakan bagian dari proses pembelajaran social dan membangun fondasi organisasi.
Pada tataran ketiga dibutuhkan sosialisasi pada tingkatan elit politik dan rakyat agar muncul rasa saling percaya yang pada gilirannya mencipatakan identitas kolektif
Masyarakat keamanan ASEAN ini dibentuk tidaklah dimaksudkan untuk “mengintegrasikan” politik luar negeri dan kebijakan pertahanan asing-masing Negara anggota. Politik luar negeri dan pertahanan dirumusakan dan dilaksanakan sendiri-sendiri kendatipun tetap dilakukan dalam konteks ASEAN. ASEAN secara keseluruhan berpegang pada prinsip-prinsip keamanan komprehensif, ketahanan nasional dan regional yang memiliki aspek-aspek politik, ekonomi, social dan budaya. Namun, disini ASEAN tidak akan membentuk diri sebagai suatu pakta pertahanan, persekutuan militer ataupun mengembangkan suatu politik luar negeri bersama. Negara-negara ASEAN juga berpegang pada hak-haknya untuk mempertahankan eksistensi yang bebas dari campur tangan pihak luar dalam urusan internal masing-masing.
Apakah ASEAN setelah 40 tahun sudah menjelma dari suatu asosiasi minimalis menjadi suatu komuitas keamanan? Para ASEANists berpendapat bahwa ASEAN sudah menjelma menjadi komunitas keamanan hal ini terbukti dengan tidak adanya lagi konflik terbuka antar Negara-negara anggota meskipun perselisihan dan perbedaan kepentingan masih sering terjadi. Namun di pihak lain, banyak para pengamat yang menyatakan bahwa ASEAN belum menjelma menjadi komunitas keamanan hal itu dibuktikan dengan masih banyaknya sengketa wilayah, pertikaian dan konflik kepentingan antar-sesama anggota, belum adanya norma bersama yang dianut, lemahnya perasaan identitas bersama serta belum adanya mekanisme ASEAN yang handal dan teruji untuk menyelesaikan konflik
Indonesia dalam Masyarakat Keamanan ASEAN (ASEAN Security Community-ASC)
Dalam ASC, Indonesia mengusulkan agar ASEAN memajukan demokrasi serta memerhatikan perlindungan HAM, antara lain dengan mendirikan mekanisme regional perlindungan HAM. Ide orisinil lainnya adalah pembentukan pasukan perdamaian regional sehingga ASEAN memiliki kemampuan untuk memainkan peran aktif dalam pemeliharaan perdamaian dan membangun perdamaian pasca konflik.
Namun, dalam pertemuan di Bali usul-usul Indonesia tersebut ditentang oleh sebagaian Negara anggota lainnya yang menilai Indonesia telah melangkah terlalu jauh. Mengingat perbedaan system politik yang tajam di ASEAN, yang terbagi di antara Negara-negara demokratis, semi-demokratis, dan otoriter, dapat dipahami bahwa pengungkapan komitmen untuk memajukan demokrasi dan perlindungan HAM secara terbuka seperti yang diusulkan Indonesia sulit untuk diterima.
Kemudian, ASC melakukan rencana aksi yang dikembangkan secara lebih detail dalam Vientine Action Program (VAP) yang disetujui pada November 2004. VAP mengenai ASC berhasil meyelipkan beberapa butir tentang demokrasi dan HAM yang telah diusulkan oleh Indonesia secara lebih terbuka.
B. Masyarakat Ekonomi ASEAN ( ASEAN Economic Community-AEC)
Masyarakat Ekonomi ASEAN merupakan pilar kedua yang menjadi landasan dalam membangun komunitas ASEAN. Dimana yang menjadi tantangan dalam Komunitas Ekonomi ASEAN ini adalah Negara India dan Cina, dimana kedua Negara ini dikenal semakin memainkan peran strategis dalam perekonomian global, dan ini merupakan ancaman bagi Negara-negara ASEAN. Untuk memahami apa yang dimaksud dengan Masyarakat Ekonomi oleh organisasi ASEAN, berikut adalah butir-butir penting yang diambil dari deklarasi Bali Concord II mengenai konsep Masyarakat Ekonomi ASEAN/ Komunitas Ekonomi ASEAN:
1. komunitas Ekonomi ASEAN adalah realisasi tujuan akhir dari integrasi ekonomi yang digariskan dalam ASEAN vision 2020 untuk menciptakan kawasan ekonomi ASEAN yang stabil, sejahtera dan berdaya saing tinngi.
2. landasan bagi Komunitas Ekonomi ASEAN adalah kepentingan bersama diantara Negara anggota ASEAN untuk memperdalam dan memperluas usaha-usaha integrasi ekonomi melalui kerjasama yang sedang berjalan dan inisiatif baru dalam kerangka waktu yang jelas.
3. Komunitas Ekonomi ASEAN perlu menjadikan ASEAN sebagai suatu pasar tunggal dan basis produksi, dengan menguba keanekaragaman yang menjadi karakter kawasan menjadi peluang bisnis yang saling melengkapi.
4. Komuitas Ekonomi ASEAN perlu menjamin bahwa perluasn dan pendalaman integrasi ASEAN harus dibarengi dengan kerjasama teknk dan pembangunan dalam usaha mengatasi jurang pembangunan dan mempercepat integrasi ekonomi anggota baru ( Kamboja, Laos, Myanmar dan Vietnam )
5. untuk mencapai Komunitas Ekonomi yang terintegrasi secara penuh, ASEAN perlu menerapkan langkah-langkah liberalisasi dan kerjasama.
Dalam membangun Komunitas Ekonomi ASEAN, hal yang tidak kalah penting yang harus dilakukan adalah dimana ASEAN yang selama ini banyak melibatkan actor Negara harus menggeser orientasinya sehingga actor non-negara terlibat dalam membangun komunitas. Khusus untuk integrasi di bidang ekonomi, aktor non Negara semestinya lebih diperankan oleh pelaku ekonomi. Komunitas Ekonomi ASEAN akan sulit untuk dicapai apabila pelaku ekonomi tidak mengenal ASEAN, tidak mengenal program-program ekonomi ASEAN yang dihasilkan dari negosiasi panjang dan yang penting juga adalah bila pelaku ekonomi tidak terlibat dalam perumusan arah dan langkah-langkah mencapai suatu komunitas.
Indonesia dalam Masyarakat Ekonomi ASEAN
Daya saing Indonesia dalam bidang ekonomi terus menurun, dimana hal ini akan mempersulit Indonesia untuk bersama-sama Negara anggota ASEAN lainnya dalam membangun Masyarakat Ekonomi ASEAN. Factor-faktor yang menyebabkan daya saing Indonesia terus menurun disamping investor yang tak kunjung datang disebabkan infrastuktur yang buruk, ketidakefisienan birokrasi, keterbatasan akses pendanaan, kebijakan tidak stabil/ inkonsistensi kebijakan, stabilitas ekonomi makro, pendidikan dasar dan kesehatan dan kesiapan ekonomi.
Beberapa yang menjadi catatan untuk mempersiapkan diri memasuki Masyarakat Ekonomi ASEAN adalah :
a. melakukan pemetaan untuk menginventarisasi seluruh barang dan jasa dalam negeri yang memiliki potensi berikut pasar yang dimiliki guna menetapkan positioning dan keunggulan dibandingkan dengan Negara ASEAN lainnya.
b. Identifikasi seluuh kelemahan dan hambatan dari barang dan jasa yang memiliki potensi.
c. Mengembangkan rantai nilai ( value chain ) barang dan jasa dalam negeri di antara Negara-negara ASEAN, yang dapat dikembangkan menjadi cluster ASEAN.
Untuk ketiga butir tersebut, tuntutan sinergitas antara pemerintah pusat, pemerintah daerah, dan dunia usaha menjadi suatu keharusan untuk mengejar ketertinggalan dari Negara anggota ASEAN lainnya, sehingga Indonesia dapat bersama-sama dengan Negara anggota lainnya membangun Masyarakat Ekonomi ASEAN.
C. Masyarakat Sosial-Budaya ASEAN (ASEAN Socio-Cultural Community-ASCC)
Masyarakat Sosial-Budaya ASEAN merupakan pilar ketiga yang menjadi landasan Komunitas ASEAN 2015. Berdasarkan Bali Concord II, Masyarakat Sosial Budaya ASEAN (ASCC), memilki karakteristik sebagai berikut :
1. ASCC, selaras dengan tujuan yang ingin dicapai dalam ASEAN vision 2020 mempertimbankan Asia Tenggara yang bersatu dalam sustu ikatan sebagai “a community of caring societies”.
2. sesuai dengan pogram aksi Deklarasi ASEAN Concord, sebuah komunitas akan mempercepat kerjasama dalam pembangunan social yang ditujukan guna meningkatkan standar kehidupan kelompok yang dirugikan dan penduduk pedesaan, dan akan mencari keterlibatan aktif semua sector masyarakat, khususnya kaum wanita, pemuda dan komunitas local.
3. ASEAN harus menjamin bahwa tenaga kerjanya akan disiapkan untuk, dan memperoleh keuntungan dari integrasi ekonomi dengan menanamkan sumber daya lebih banyak untuk pendidikan dasar dan lanjut, latihan, pembangunan iptek, penciptaan kesempatan kerja serta perlindungan social.
4. ASEAN akan lebih mengintensifkan kerjasama dalam bidang kesehatan umum, termasuk pencegahan dan pengendalian penyakit infeksi seperti halnya HIV/AIDS dan SARS, dukungan atas aksi bersama regional guna meningkatkan akses terhadap obat-obatan yang terjangkau.
5. komunitas akan memeliharabakat serta meningkatkan interaksi diantara, penulis, artis dan praktisi media ASEAN guna membantu perlindungan atas aneka peninggalan budaya ASEAN, serta mempererat identitas regional sekaligus menimbulkan kesadaran masyarakat ASEAN.
6. komunitas akan mengitensifkan pada kerjasama terhadap permasalahan yang berkaitan dengan pertumbuhan populasi, pengangguran, penurunan lingkungan hidup serta populasi lintas perbatasn sebagaiman manajemen bencana disuatu wilayah yang memungkinkan masing-masing Negara anggota memyadari potensi pembangunannya serta meningkatkan semangat bersama ASEAN.
Pada KTT ASEAN di Vientiane tahun 2004 bersama dengan rencana aksinya, para pimpinan ASEAN sepakat bahwa Masyarakat Sosial-Budaya ASEAN akan mencakup empat wilayah utama, yaitu :
a. pembentukan “a community of caring societies”
b. pengelolaan dampak social dari integrasi ekonomi
c. peningkatan pelestarian lingkungan
d. peningkatan identitas ASEAN
Kesimpulan
Dalam membangun komunitas ASEAN, berlandaskan tiga pilar yaitu Masyarakat Keamanan ASEAN (ASC), Masyarakat Ekonomi ASEAN (AEC) dan Masyarakat Soaial-Budaya ASEAN (ASSC). Tetapi apabila kita lihat ketiga pilar tersebut memiliki kekurangan yaitu : misalnya saja dalam pembangunan Masyarakat Keamanan ASEAN, yang ternyata tidak memperluas konsep ketahanan dan keamanan karena tidak memasukan ancaman atau tantangan non-konvensional dari segi ekonomi dan keuangan. Hal ini merupakan kekurangan yan sangat besar, karena pengertian ketahanan dan keamanan komprehensif hanya membatasi diri pada factor-faktor poitik dan keamanan tradisional saja.
Dalam pengembangan Masyarakat Ekonomi ASEAN terdapat satu masalah pokok yang dimana dalam pengembangannya bernemturan dengan kebijakan pengembangan Masyarakat Keamanan ASEAN, yaitu pembentukan pasar dan landasa produksi tunggal ASEAN. Masyarakat Kemanan ASEAN berpegang teguh pada “kedaulatan nasional, keadilan yang berdaulat, non-interferensi, integritas teritotial, identitas nasional, tanggung jawab bersama dan kerja sama yang damai untuk manfaat bersama di natara bangsa-bangsa di Asia Tenggara,” sedangkan Masyarakat Ekonomi ASEAN, sesuai logikanya, menafikan kedaulatan, integritas territorial dan non-interferensi dalam pengembangannya untuk membuat kegiatan-kegiatannya berskala global, melampaui pertimbangan nasional dengan cirinya yang hendak dipertahankannya secara politik.
Dalam Masyarakat Sosia-Budaya ASEAN ternyata tidak sepenuhnya memperjuangkan suatu masyarakat yang berorientasi sepenuhnya pada manusia. Masyarakat Sosial-Budaya ini dirumuskan untuk mendukung pembangunan ekonomi ASEAN: penyediaan manusia yang terampil dengan mengembangkan pendidikan, pengembangan kesehatan masyaraka, perbaikan system pendidikan untuk “membangun angkatan kerja yang lebih kompetitif”. Dalam menyusun Masyarakat Sosial-Budaya, ASEAN lebih banyak terpaku pada bagaimana mengembalikan tingkat pertumbuhan ekonomi Negara-negara ASEAN ke tingkat sebelum krisis keuangan dan ekonomi tahun 1997. ASEAN lebih terobsesi pada unsur-unsur dan sasaran-sasaran Masyarakat Ekonomi ASEAN, sehingga terkesan melupakan pembangunan A community of Caring Societies.
Melihat uraian mengenai tiga pilar yang menjadi landasan komunitas ASEAN, maka dapat kita lihat bahwa pada pilar Masyarakat Keamanan ASEAN menekankan pada keamanan ASEAN dan pembentukan norma-norama politik bagi Negara-negara anggota ASEAN. Pada pilar Masyarakat Ekonomi ASEAN menekankan pada pembentukan pasar tunggal dimana setiap warga Negara anggota ASEAN mempunyai kesempatan untuk bekerja atau membuka usaha di wilayah ASEAN mana pun. Pada Masyarakat Sosial-Budaya ASEAN terbentuknya hubungan tolong-menolong antar anggota ASEAN, terutama dalam hal lingkungan hidup, penanganan bencana, kesehatan, IPTEK, tenaga kerja dan pengentasan kemiskinan.
Komunitas ASEAN tersebut akan ditandai dengan semakin besarnya tiga hal. Pertama, interaksi bidang politik dan keamanan. Kedua, adanya pasar tunggal dan basis produksi dengan aliran bebas barang, jasa, modal dan orang. Dan ketiga, terwujudnya masyarakat yang lebih peduli dan berbagi, yang menitikberatkan pada pembangunan social, pendidikan dan pengembangan SDM, kesehatan masyarakat, kebidayan dan informasi, dan perlindungan.
ORGANISASI REGIONAL: LIGA ARAB (LEAGUE OF ARAB STATES)
Liga Arab adalah organisasi regional yang terdiri dari negara-negara Arab yang terdapat di wilayah Asia Barat, Asia utara dan Afrika Timur Laut. Organisasi ini dibentuk pada tanggal 22 Maret 1945 oleh Negara Mesir, Irak, Transjordan (Yordania pada tahun 1946), Libanon Arab Saudi, dan Suriah, kemudian diikuti oleh Yaman yang bergabung pada tanggal 5 Mei 1945. sampai sekarang ini markas Liga Arab berada di Kairo, Mesir. Tujuan utama dari liga Arab ini adalah untuk mendekatkan hubungan antara Negara-negara anggota dan koordinasi kerjasama di antara mereka, untuk menjaga kemerdekaan dan kedaulatan mereka, dan mempertimbangkan secara umum urusan dan kepentingan Negara-negara Arab.
Dalam piagam Liga Arab dinyatakan bahwa Liga Arab bertugas mengkoordinasikan kegiatan ekonomi, termasuk hubungan niaga; komunikasi; kegiatan kebudayaan; kewarganegaraan, parpor dan visa; kegiatan social; dan kegitan kesehatan. Dalam piagam Arab ini juga melarang para anggota untuk menggunakan kekerasan terhadap satu sama lain.
Hingga saat ini Liga Arab memiliki 22 anggota dan ada 3 negara yang menjadi Negara pemantau atau Negara pengamat. Negara-negara anggotanya antara lain :
Mesir, Irak, Yordania, Libanon, Arab Saudi, Suriah (22 September 1945)
Yaman (5 Mei 1945)
Libya (28 Maret 1953)
Sudan ( 19 Januari 1956)
Maroko, Tunisia ( 1 Oktober 1958)
Kuwait (20 Juli 1961)
Aljazair (16 Agustus 1962)
Uni Emirat Arab (12 Juni 1971)
Bahrain, Qatar (11 September 1971)
Oman (29 September 1971)
Mauritania (26 November 1973)
Somalia (14 Februari 1974)
Palestina (9 Septmber 1976)
Djibouti (9 April 1977)
Komoro (20 November 1993)
Negara pemantau (observer country) di sini berperan sebagai pihak pengamat atau pemerhati terhadap semua kegiatan liga dengan tujuan untuk menjaga independensi liga. Sebuah observer country tidak memiliki hak dan kewajiban sebagaimana yang dimiliki oleh Negara anggota. Sejauh ini ada 3 negara pemantau, yaitu:
Eritrea, yang bergabung pada tanggal 6 Januari 2003, kemudian pada tahun 2006, Venezuela juga bergabung menjadi Negara pemantau dan yang terakhir yaitu India yang menjadi Negara pemantau pada tahun 2007.
Sejarah dan Perkembangan Liga Arab
Sejarah Liga Arab dimulai ketika Kerajaan Inggris Raya menyadari pentingnya persatuan diantara negara-negara Arab (Pan Arabia) di awal abad ke 20. Kerajaan Inggris jugalah yang mendorong dan menjamin kerjasama diantara negara-negara Arab, yang sebenarnya tujuan utamanya ialah untuk memimpin pemberontakan mereka melawan Kekaisaraan Ottoman Turki selama Perang Dunia I. Inggris menjanjikan untuk membantu Arab membangun sebuah persatuan Kerajaan Arab dibawah kekuasaan Sherif Hussein di Mekah yang kekuasaannya akan menjangkau seluruh dunia Arab (sekarang lebih dikenal sebagai Jazirah Arab, Irak, Suriah, Libanon, Palestina, Israel dan Yordania). Setelah memenangkan peperangan, Inggris mengkhianati Sharif Hussein dan selanjutnya membagi wilayah Arab menjadi negara-negara bagian kecil dan menerapkan kebijakan “Devide and Rule”.
Ketika meletus Perang Dunia II, Inggris sekali lagi membutuhkan bantuan Arab dan menyebarkan paham Arabisme dengan janji akan membentuk formasi awal Liga Arab. Akan tetapi, kebanyakan intelektual Arab percaya bahwa sebenarnya Inggris tidak ingin membentuk Liga Arab demi persatuan Arab, sebaliknya ingin menggunakan organisasi tersebut untuk mencegah persatuan negara-negara Timur Tengah. (One.indoskripsi.com diakses tanggal 13 Oktober 2009)
Melihat kenyataan itu, pemerintah Mesir mengajukan sebuah proposal untuk pembentukan sebuah organisasi yang nyata pada tahun 1943. Mesir dan beberapa negara Arab lainnya sebenarnya ingin sebuah kerjasama yang lebih erat tanpa kehilangan kedaulatan negaranya. Perjanjian asli dari Liga Arab adalah membentuk sebuah organisasi regional yang terdiri dari negara-negara yang berdaulat, tanpa memperdulikan bentuk negara tersebut yaitu negara persatuan atau negara federal. Diantara tujuan-tujuan Liga Arab adalah memperjuangkan kemerdekaan penuh untuk semua negara-negara Arab dan untuk mencegah kaum Yahudi di Palestina. kemudian terbentuklah Liga Arab yang dikenal saat ini, yang dibentuk didasarkan atas Pact of The League of Arab States (Pakta Liga Arab), dan menjadi sebuah konstitusi dasar bagi organisasi Liga Arab.
Anggota dari Liga Arab ini pun terus bertambah hingga mencapai 22 anggota dan memiliki 3 negara pemantau. Namun pada tahun 1979, keanggotaan Mesir dalam Liga Arab dicabut karena Mesir terbukti menandatangani Perjanjian Damai dengan Israel. Dan kantor pusat Liga Arab pun yang sebelumnya berkedudukan di Kairo, Mesir dipindahkan ke Tunis, Tunisia. Akhirnya delapan tahun kemudian, yakni pada tahun 1987 para pemimpin dunia Arab memutuskan untuk memperbaharui kembali hubungan diplomatic dengan Mesir dan pada tahun 1989 Mesir diterima kembali menjadi anggota Liga Arab, selain itu, kantor pusat Liga Arab juga dikembalikan ke Kairo, Mesir.
Dari awal pembentukan Liga Arab hingga kini sudah ada 6 Sekretaris Jenderal yang menjabat. Nama-nama Sekretaris jenderal ini dapat dilihat di bawah ini.
1. Abdul Rahman Hassan Azzam (Mesir, 1945-1952)
2. Abdul Khlek Hassouna ( Mesir, 1952-1972)
3. Mahmoud Riad (Mesir, 1972-1979)
4. Chedi Klibi (Tunisia, 1979-1990)
5. Dr. Ahmad Esmat Abdal Meguid (Mesir, 1991-2001)
6. Amr Mousa (Mesir, 2001-hingga kini)
Selama perjalanannya, Liga Arab telah melaksanakan Konferensi Tingkat Tinggi Liga (Summit Conference) paling tidak sebanyak 31 kali. Dimana konferensi pertama dilakukan di Kairo, Mesir pada tanggal 13-17 Januari 1964. dan konferensi terakhir dilakukan di Doha, pada tanggal 28-30 Maret 2009. kemudian merencanakan konferensi selanjutnya pada tanggal 30 Maret-1 April 2010. konferensi ini dilaksanakan jika ada suatu masalah yan timbul dan perlu dibahas secra lebih lanjut.
Seiring perkembangan zaman, Liga Arab dijadikan media bagi penyusunan hampir semua dokumen-dokumen penting Arab yang mendukung integritas ekonomi diantara Negara anggota, yaitu pembentukan Perjanjian Pelaksanaan Kerjasama Ekonomi Arab (Joint Arab Economic Action Charter). Liga Arab telah menjalani banyak kemajuan dan kemunduran dalam menjalankan fungsi dan tujuannya. Semua itu tidak terlepas dari gejolak yang terjadi di kawasan Arab dan Timur Tengah. Seperti misalnya Amerika Serikat yang menginvasi Palestina kemudian dilanjutkan dengan Irak.Liga Arab sebagai organisasi regional telah terbukti gagal mengakomodasi masalah tersebut. Liga tidak dapat menghentikan invansi Amerika, meredam gejolak antar negara anggota dan mempersatukan semua negara di kawasan Timur Tengah. Perbedaan orientasi politik dan kepentingan anggota bisa jadi merupakan salah satu penyebab gagalnya Liga Arab. Keberadaan sebuah negara Israel juga telah menjadi batu sandungan bagi perdamaian negara anggota. Sampai sekarang konflik Israel-Palestina belum menemui jalan terang. Amerika Serikat yang konon menjadi musuh kedua bagi negara anggota, justru adalah pihak yang banyak berperan aktif dalam mendamaikan kedua negara tersebut.
Selain mengalami kegagalan, Liga Arab juga menuai banyak kemajuan dan keberhasilan. Diantaranya Liga Arab dikenal berhasil dan efektif dalam menjalin dan memelihara kerjasama dibidang ekonomi, sosial dan kebudayaan diantara negara anggota. Dalam bidang pendidikan, Liga berperan besar dalam menyusun kurikulum sekolah negara-negara Arab, melestarikan dokumen-dokumen dan hasil kebudayaan kuno dan berhasil juga menerapkan teknologi modern dalam berbagai bidang. Dan menciptakan persatuan telekomunikasi regional.
Perbandingan Liga Arab dengan Organisasi Lainnya.
Organisasi Liga Arab ini sedikit berbeda dengan Organisasi regional lainnya. Di mana organisasi ini dibentuk bukan hanya berdasarkan letak wilayah tertentu, tetapi lebih pada persamaan kebudayaan dan agama (Islam). Apabila dibandingkan dengan Uni Eropa, Liga Arab belum berhasil mencapai suatu derajat peningkatan integrasi regional dan organisasi ini juga tidak mempunyai hubungan langsung dengan warga Negara-negara anggotanya.
Organisasi ini hampir sama dengan organisasi Uni Latin (Latin Union). Apabila melihat dari tujuannya, organisasi ini hampir sama dengan Organisasi Negara-Negara Amerika (Organization of American States), Dewan Eropa (Council Of Europe) dan Uni Afrika ( African Union) yaitu tujuannya politik. Namun ada salah satu hal unik yang membedakan dengan organisasi lainnya, dimana organisasi ini mempunyai peranan dalam menentukan kurikulum sekolah dan pelestarian sejarah kebudayaan Arab. Dan yang menarik dari organisasi ini yaitu semua anggota dari Liga Arab juga termasuk ke dalam organisasi Konferensi Islam (Organization of the Islamic Conference). Organisasi ini dilandasi oleh prinsip pendukungan dan memajukan nasionalisme persatuan Arab dan menjaga keseimbangan Negara-negara Arab dalam beberapa hal. Hal ini sama seperti yang dilakukan oleh Uni Afrika.
Apabila melihat sejarah, perkembangan dan perbandingan liga Arab dengan Organisasi lain, dapat dilihat bahwa organisasi Liga Arab ini merupakan organisasi yang cukup bermanfaat. Meskipun dalam bentuknya Liga Arab masih belum dikatakan sempurna. Organisasi ini kurang memiliki kepaduan politik yang diperlukan untuk pengembangan cepat dalam tingkat koodinasi yang lebih luas ataupun untuk mewujudkan integrasi pada taraf yang sekarang ini
Sumber
http://one.indoskripsi.com/node/2651
http://id.wikipedia.org/wiki/Liga_Arab
http://en.wikipedia.org/wiki/Arab_League
POLITIK LUAR NEGERI MALAYSIA TERHADAP REGIONALISME DI ASEAN
Politik luar negeri Negara-negara anggota ASEAN, misalnya Malaysia, tidak dapat dipisahkan dari dinamika hubungan antara faktor-faktor domestik seperti politik, sosial, budaya, ekonomi dan militer menentukan persepsi para pengambil keputusan luar negeri pada satu sisi. Untuk itu, agar dapat memahami mengenai politik luar negeri Malaysia, terlebih dahulu kita pahami mengenai keadaan Malaysia terlebih dahulu, misalnya saja system politik Malaysia, system pemerintahan, bentuk pemerintahan dan bentuk Negara Malaysia, karena hal ini juga dapat mempengaruhi politik luar negeri Malaysia.
Malaysia merupakan Negara yang berbentuk federasi. Dimana Malaysia terdiri dari tiga belas negara bagian dan tiga wilayah persekutuan yaitu persekutuan Kuala Lumpur, Labuan Island dan Putrajaya sebagai wilayah administratif federal. Setiap Negara bagian memiliki majelis, dan pemerintah negara bagian dipimpin oleh kepala menteri (chief minister) dimana kepala menteri di tiap negara bagian diangkat oleh majelis negara bagian.
Dalam Negara federal seperti Malaysia maka ada kekuasaan federal dan ada kekuasaan Negara bagian. Soal-soal yang menyangkut negra dalam keseluruhannya diserahkan kepada kekuasaan federal. Dalam hal tertentu misalnya mengadakan perjanjian internasional atau mencetak uang, pemerintah federal bebas dari Negara bagian dan dalam bidang itupemerintah federal mempunyai kekusaan yang tertinggi. Tetapi, untuk soal yang menyangkut Negara bagian belaka dan tidak termasuk kepentingan nasional, diserahkan kepada kekuasaan Negara-negara bagian. Jadi, dalam soal-soal semacam itu pemerintah Negara bagian bebas dari pemerintah federal misalnya, soal kebudayaan, kesehatan pendidikan .
Bentuk pemerintahan Malaysia adalah monarki konstitusional, yaitu berupa Negara kerajaan yang diatur oleh konstitusional. Dimana kepala negaranya merupakan seorang raja yang disebut dengan Yang di-Pertuan Agong (Raja Malaysia). Yang di-Pertuan Agong dipilih dari dan oleh sembilan Sultan Negeri-Negeri Malaya, untuk menjabat selama lima tahun secara bergiliran; empat pemimpin negeri lainnya, yang bergelar Gubernur, tidak turut serta di dalam pemilihan .
Sistem pemerintahan yang dianut oleh Malaysia adalah system parlementer. Sistem parlementer yang dipakai oleh Malaysia bermodelkan sistem parlementer Westminster, yang merupakan warisan Penguasa Kolonial Britania. Tetapi apabila melihat prakteknya , kekuasaan lebih terpusat di eksekutif daripada di legislatif, dan judikatif diperlemah oleh tekanan berkelanjutan dari pemerintah selama zaman Mahathir, kekuasaan judikatif itu dibagikan antara pemerintah persekutuan dan pemerintah negara bagian. Dalam system pemerintahan Malaysia yang menjadi kepala pemerintahan adalah seorang perdana menteri.
Sistem politik Malaysia dapat dikatakan demokrasi, hal ini dapat dilihat dari adanya pembagian kekuasaan dan adanya pelaksanaan pemilu meskipun kalau dilihat lebih dalam tidak begitu demokratis karena tidak jurdil. Di Malaysia, seperti kebanyakan Negara lainnya kekuasaan Negara terdiri dari badan eksekutif, legislatif dan yudikatif.
Kekuasaan eksekutif dilaksanakan oleh kabinet yang dipimpin oleh perdana menteri; konstitusi Malaysia menetapkan bahwa perdana menteri haruslah anggota dewan rendah (Dewan Rakyat), yang direstui Yang di-Pertuan Agong dan mendapat dukungan majoritas di dalam parlemen. Kabinet dipilih dari para anggota Dewan Rakyat dan Dewan Negara dan bertanggung jawab kepada badan itu.; sedangkan kabinet merupakan anggota parlemen yang dipilih dari Dewan Rakyat atau Dewan Negara.
Dalam kekuasaan legislative Malaysia memiliki sistem bikameral yang terdiri dari Senat (Dewan Negara) dan House of Representatives (Dewan Rakyat). Senat menguasai 70 kursi di parlemen sementara HoR menguasai 219 kursi. 44 anggota Senat ditunjuk oleh pemimpin tertinggi sementara 26 lainnya ditunjuk oleh badan pembuat UU di negara bagian. Anggota HoR dipilih melalui popular vote untuk masa jabatan selama 5 tahun.
Dalam hal kekuasaan Yudikatif, sistem hukum di Malaysia berdasar pada hukum Inggris dan kebanyakan UU serta konstitusi diadaptasi dari hukum India. Di Malaysia terdapat Federal Court, Court of Appeals, High Courts, Session's Courts, Magistrate's courts dan Juvenile Courts. Hakim Pengadilan Federal ditunjuk oleh pemimpin tertinggi dengan nasehat PM. Pemerintah federal memiliki kekuasaan atas hubungan luar negeri, pertahanan, keamanan dalam negeri, keadilan, kewarganegaraan federal, urusan keuangan, urusan perdagangan, industri, komunikasi serta transportasi dan beberapa urusan lain .
Pemilihan umum parlemen Malaysia dilakukan paling sedikit lima tahun sekali, dengan pemilihan umum terakhir pada Maret 2008. Pemilih terdaftar berusia 21 tahun ke atas dapat memberikan suaranya kepada calon anggota Dewan Rakyat dan calon anggota dewan legislatif negara bagian juga, di beberapa negara bagian. Voting tidak diwajibkan. Malaysia menganut sistem multipartai. Seperti Indonesia, banyak sekali partai politik di Malaysia, sekitar 33 parpol. Namun, berbeda dengan Indonesia, pemilu hanya diikuti dua kontestan, yaitu parpol yang tergabung dalam Barisan Nasional (BN) dan parpol yang tergabung dalam Barisan Alternatif (BA).
BN adalah koalisi partai penguasa yang ditulangpunggungi UMNO (United Malays National Organization), MCA (Malaysian Chinese Association), dan MIC (Malaysian India Congress), serta sebelas partai pendukung lainnya.
Ada pun BA adalah kumpulan partai oposisi yang dipimpin PAS (Partai Islam se-Malaysia), PKR (Partai Keadilan Rakyat), DAP (Democratic Action Party), dan 16 partai pendukung lainnya.
Di Malaysia, yang menganut sistem parlementer, pelaksanaan pemilu bisa disederhanakan sedemikian rupa sehingga memudahkan pemilih dalam menentukan pilihan. Partai-partai dengan latar belakang ras dan ideologi yang beragam itu bertarung dalam dua bendera koalisi, yang dijalin sebelum dan sesudah pemilu, serta dilakukan secara permanen.
Kerangka konstitusional sistem politik Malaysia memang bersifat demokratis. Namun, kerangka demokratis itu disertai kontrol otoritarian yang luas untuk menyumbat oposisi yang efektif. Karena itu, sulit dibayangkan partai pemerintah bisa kalah. Sejak awal, sistem politik Malaysia merupakan campuran dari karakteristik responsif dan represif. Sistem pemilu Malaysia juga tidak jurdil. Sistem dirancang untuk cenderung menguntungkan partai pemerintah sehingga hampir mustahil ia dapat dikalahkan.
Dalam setiap pemilu, BN selalu memenangkan sekitar 3/5 suara dan menguasai mayoritas kursi di parlemen. Bahkan, dalam Pemilu 1990 dan 1999, ketika UMNO dilanda perpecahan serius dan BN dalam tekanan politis yang kuat oleh gerakan reformasi, oposisi tetap kalah.
Pada Pemilu 2004, kemenangan BN lebih mencolok lagi. BN merebut 199 kursi atau 90 persen dari 222 kursi parlemen dan mengontrol 13 DUN (Dewan Undangan Negeri) dari 14 negara bagian, kecuali Kelantan yang dikuasai PAS. Negara Bagian Trengganu yang jatuh ke tangan PAS pada Pemilu 1999 juga berhasil direbut kembali oleh BN .
Dengan demikian, pemilu pada praktiknya tidak bisa mengganti pemerintahan, tetapi hanya memaksa pemerintah untuk lebih responsif. Pemilu Malaysia hanyalah casting suara dari ritual rutin empat atau lima tahun sekali untuk memperbarui sampul legitimasi pemerintahan otoritarian. Cara-cara UMNO memenangkan pemilu masih sama dengan cara hegemonik Golkar pada era Orde Baru di Indonesia.
Dengan memahami kedaan Negara Malaysia mulai dari bentuk Negara, bentuk pemerintahan, sistem pemerintahan dan sistem politik seperti yang telah dijelaskan di atas, akan dapat membantu memahami mengenai politik luar negeri Malaysia, terutama politik luar negeri Malaysia terhadap regionalisme ASEAN.
Politik Luar Negeri Malaysia Terhadap Regionalisme di ASEAN
Sebagai Negara jajahan Inggris, Malaysia mengembangkan politik luar negeri yang sesuai dengan kondisi Negara yang sedang dalam proses pembentukan bangsa. Politik luar negeri Malaysia refleksi dan ekspresi dari dinamika faktor-faktor domestik dan internasional. Di tingkat domestik, pemerintah Malaysia menjadikan ketenangan dan stabilitas politik sebagai ukuran tercapainya keamanan domestik. Sementara di tingkat internasional, pemerintah Malaysia menjadikan kemampuan untuk mengendalikan ancaman regional maupun global sebagai ukurannya .
Bagaimana politik luar negeri Malaysia terhadap regionalisme di ASEAN? Apakah Malaysia sudah siap terhadap regionalisme di ASEAN?
Apabila kita lihat dari segi ekonomi, Malaysia sepertinya siap untuk regionalisme ASEAN. Seperti yang diketahui, di bawah Mahatir, Malaysia memasuki era kemajuan ekonomi dan politik jauh melampaui masa sebelumnya. Hingga sekarang Malaysia dan juga Singapura merupakan Negara yang lebih maju dibandingkan Negara anggota ASEAN lainnya. Tetapi, apabila kita lihat dari segi hubungannya dengan Negara anggota lain, sepertinya Malaysia belum bisa dikatakan siap. Seperti yang sudah diketahui, Malaysia memiliki hubungan yang kurang baik dengan Negara anggota lainnya, Malaysia-Indonesia misalnya, awal tahun 2005 sempat “hangat” karena persoalan tumpang tindih klaim atas wilayah perairan di sekitar laut sulawesi yang kita kenal dengan wilayah Ambalat, bahkan sampai sekarang permasalahan tersebut belum jelas penyelesaiannya. Selain itu hubungan kurang baik yang lainnya yaitu antara Malaysia-Thailand yang saling “berperang” pernyataan terkait dengan persoalan di Thailand selatan. Dalam dua kasus tersebut, kesan terjadinya ketegangan justru lebih dirasakan di kalangan masyarakat ketimbang di kalangan pejabat pemerintah .
Permasalahan dan hubungan kurang baik dengan Negara anggota ASEAN lainnya akan dapat menghambat terlaksananya regionalisme ASEAN, visi ASEAN 2015 yang dikenal dengan ASEAN Community, di mana dalam pengimplementasiannya, pada tahun 2015 nanti, tidak akan ada lagi yang dikenal sebagai rakyat Malaysia, rakyat Indonesia atau rakyat Singapura, yang ada hanya rakyat ASEAN, masyarakat ASEAN dalam satu wilayah ASEAN dengan wajah komunitas ASEAN . Dimana dituntut hubungan baik antar Negara anggota, terutama kalangan masyarakatnya agar dapat membantu terwujudnya ASEAN Community.
Namun yang menjadi pertanyaan adalah apakah Malaysia mau dan mampu mereduksi keegoisan kepentingan nasionalnya? Atau apakah Malaysia yang merupakan Negara yang memiliki perekonomian yang maju mau untuk menurunkan dan membagi sedikit kekayaannya untuk negara anggota yang lebih miskin?
Apabila Malaysia dapat menjawab “YA” politik luar negeri Malaysia benar-benar siap terhadap regionalisme di ASEAN yang dikenal dengan ASEAN Community.
SUMBER :
Budiardjo, Mirriam.2008. Dasar-dasar Ilmu Politik. Jakarta : PT. Gramedia Pustaka Utama.
Cipto, Bambang, Dr,MA.2007. Hubungan Internasional di Asia Tenggara. Yogyakarta : Pustaka Pelajar.
Luhulima, CPF. 2008. Masyarakat Asia Tenggara Menuju Komunitas ASEAN 2015. Yogyakarta : Pustaka Pelajar.
Website :
http://id.wikipedia.org/wiki/Malaysia
http://technology-informasi.blogspot.com/2009/04/sistem-politik-malaysia.html
http://www.gp-ansor.org/?p=4369
http://rumahmercusuar.blogspot.com/2009/05/regionalisasi-di-kawasan-asia-tenggara.html
Langganan:
Postingan (Atom)