Senin, 13 Juni 2011

ASEAN DAN KONFLIK NEGARA ANGGOTANYA

OLEH : TEGER PRANANDA BANGUN


BAB I
PENDAHULUAN
I.1. Latar Belakang
Association of Southeast Asian Nations (ASEAN) merupakan organisasi regional yang terdiri dari negara-negara di kawasan Asia Tenggara yang berdiri pada 8 Agustus 1967, di tengah situasi regioanal dan internasional yang sedang berubah. Pada awal pembentukannya ASEAN hanya terdiri dari lima negara yaitu Indonesia, Malaysia, Thailand, Singapura, dan Philipina. Walaupun masing-masing negara anggota berbeda satu sama lain dalam hal, bahasa, budaya, agama, geografi, etnisitas dan pengalaman sejarah, hubungan antar anggota secara bertahap menumbuhkan rasa kebersamaan.
ASEAN tidak terbentuk secara mudah, pada awal pembentukan dimulai pada tahun 1961 dengan dibentuknya Association of Southeast Asia (ASA). Ini adalah organisasi awal yang dibentuk oleh seluruh negara Asia Tenggara. Karena sebelumnya negara Asia Tenggara telah membentuk Organisasi regional SEATO (Southeast Asia Treaty Organization) yang merupakan upaya dari Amerika untuk membendung pengaruh komunis di Asia. Sehingga ASA merupakan organisasi regional yang pertama kali dibentuk oleh Negara Asia Tenggara. Tetapi, konflik yang pecah antara Philipina dan Malaysia pada tahun tersebut menghancurkan upaya awal tersebut. Maphilindo kemudian muncul menggantikan ASA yang merupakan kerjasama antara Malaysia, Philipina, dan Indonesia. Tetapi, percobaan kedua ini berakhir dengan politik konfrontasi yang dilancarkan Soekarno. Sementara itu konflik antara negara berpenduduk Melayu (Indonesia dan Malaysia) dan negara berpenduduk mayoritas Cina (Singapura) juga pecah sebagai akibat dari pengorbanan awal sebelum terbentuknya organisasi regional yang lebih solid seperti ASEAN.
Dari sejak awal konflik antar negara sudah mewarnai perjalanan awal terbentuknya ASEAN. Bahkan, sampai sekarang konflik antar negara anggota ASEAN juga masih terjadi, misalnya saja konflik yang baru saja terjadi yaitu antara Thailand dan Kamboja. Hal ini menjadi perhatian tersendiri melihat ASEAN sebagai suatu organisasi regional tidak dapat menyelesaikan konflik antar negara anggotanya. ASEAN seolah-olah kehilangan kekuatan dan kewibawaan sebagai Organisasi regional. Dibandingkan dengan organisasi regional lainnya, ASEAN merupakan organisasi regional yang Negara anggotanya sering berkonflik satu sama lainnya, dan ASEAN sebagai organisasi yang menaunginya tidak dapat menyelesaikan konflik tersebut.
I.2. Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang yang telah dijelaskan sebelumnya, maka dalam makalah ini yang dapat ditarik menjadi rumusan masalah yaitu :
• Bagaimana prosedur penanganan konflik di ASEAN?
• Seberapa besar peranan ASEAN dalam menyelesaikan konflik antar anggota

BAB II
PEMBAHASAN
II.1. Perkembangan ASEAN
Association Of Southeast Asian Nations (ASEAN) didirikan berdasarkan Deklarasi Bangkok pada tanggal 8 Agustus 1967. ASEAN didirikan oleh Indonesia, Malaysia, Thailand, Philipina, dan Singapura. Pada awalnya ASEAN dibentuk dengan semangat melawan bahaya komunisme. Maka ketika terjadi de-ideologisasi di tingkat global dan regional awal tahun 1990-an, sempat muncul pertanyaan tentang relevansi ASEAN. Namun, dalam perkembangan dan kenyataannya, kebutuhan untuk meningkatkan peran ASEAN justru bertambah. Bahkan Negara seperti Vietnam, Cambodia dan Laos, yang sebelumnya secara ideologis dianggap bersebrangan, kini menjadi bagian integral ASEAN.
ASEAN terbentuk juga karena adanya persamaan-persamaan yang dimiliki Negara anggotanya. Persamaan-persamaan itulah yang menjadi jalan terwujudnya pembentukan ASEAN. Persamaan-persamaan tersebut yaitu :
• Persamaan letak geografis di kawasan Asia Tenggara.
• Persamaan budaya yakni budaya Melayu Austronesia.
• Persamaan nasib dalam sejarahnya yaitu sama-sama sebagai negara bekas dijajah oleh bangsa asing.
• Persamaan kepentingan untuk menjalin hubungan dan kerja sama di bidang ekonomi, sosial, dan budaya.
ASEAN dibentuk bukan tanpa tujuan, tujuan dari dibentuknya ASEAN terdapat dalam Deklarasi bangkok. Tujuan dibentuknya ASEAN seperti yang tercantum dalam Deklarasi Bangkok adalah untuk :
1. Mempercepat pertumbuhan ekonomi, kemajuan sosial serta pengembangan kebudayaan di kawasan ini melalui usaha bersama dalam semangat kesamaan dan persahabatan untuk memperkokoh landasan sebuah masyarakat bangsa-bangsa
2. Asia Tenggara yang sejahtera dan damai;
3. Meningkatkan perdamaian dan stabilitas regional dengan jalan menghormati keadilan dan tertib hukum di dalam hubungan antara negara-negara di kawasan ini serta mematuhi prinsip-prinsip Piagam Perserikatan Bangsa-Bangsa;
4. Meningkatkan kerjasama yang aktif dan saling membantu dalam masalah-masalah yang menjadi kepentingan bersama di bidang-bidang ekonomi, sosial, teknik, ilmu pengetahuan dan administrasi;
5. Saling memberikan bantuan dalam bentuk sarana-sarana pelatihan dan penelitian dalam bidang-bidang pendidikan, profesi, teknik dan administrasi;
6. Bekerjasama secara lebih efektif guna meningkatkan pemanfaatan pertanian dan industri mereka, memperluas perdagangan dan pengkajian masalah-masalah komoditi
7. internasional, memperbaiki sarana-sarana pengangkutan dan komunikasi, serta meningkatkan taraf hidup rakyat mereka;
8. Memajukan pengkajian mengenai Asia Tenggara;
9. Memelihara kerjasama yang erat dan berguna dengan berbagai organisasi internasional dan regional yang mempunyai tujuan serupa, dan untuk menjajagi segala kemungkinan untuk saling bekerjasama secara erat di antara mereka sendiri.

Prinsip utama dalam kerjasama ASEAN antara lain adalah persamaan kedudukan dalam keanggotaan (equality), tanpa mengurangi kedaulatan masing-masing negara anggota. Negara-negara anggota ASEAN sepenuhnya tetap memiliki kedaulatan ke dalam maupun ke luar (sovereignty). Sedangkan musyawarah (consensus and consultation), kepentingan bersama (common interrest), dan saling membantu (solidarity).

Sejak awal pembentukkannya, ASEAN merupakan suatu kerjasama regional yang didirikan berdasarkan suatu kesepakatan bersama yang dikenal sebagai Deklarasi Bangkok. Salah satu butir kesepakatan dalam Deklarasi Bangkok adalah : “akan lebih mengedepankan kerjasama ekonomi dan social sebagai perwujudan dari solidaritas ASEAN”. ASEAN telah memilih economic road towards peace, berdasarkan asumsi bahwa jika Negara-negara ASEAN mencapai kemakmuran, maka perdamaian akan terwujud di kawasan ini. Intinya ASEAN didirikan dengan tujuan bagaimana keamanan yang stabil dalam jangka panjang dapat tercipta di kawasan, baik melalui kerja sama ekonomi, teknologi dan social budaya, maupun melalui kerjasama di bidang politik dan keamanan .
II.2. Konflik Antar Negara ASEAN
Terbentuknya ASEAN bukan merupakan jaminan bahwa tidak akan terjad pertikaian wilayah di kalanagn negara anggotanya. Dalam kenyataan masalah perbatasan wilayah ini terus berlangsung hingga berakhirnya Perang Dingin. Bahkan jauh sesudah Perang Dingin berakhir konflik perebutan wilayah masih terus berlangsung. Konflik Perebutan wilayah inilah yang paling sering terjadi.
Ada beberapa konflik perebutan wilayah yang terjadi antar negara anggota ASEAN, misalnya saja konflik perebutan wilayah antara Philipina dan Malaysia, Konflik Sipadan dan Ligitan yaitu konflik perebutan wilayah antara Indonesia dengan Malaysia, dan Konflik yang baru-baru saja terjadi yaitu konflik antara Thailand dan Kamboja.
Konflik Philipina-Malaysia. Konflik yang terjadi antara Philipina dan Malaysia, dimana Philipina mengklaim Sabah yang merupakan salah satu negara bagaian Malaysia, sebagai wilayah Philipina. Konflik yang terjadi antara Philipina-Malaysia ini tidak sampai menjadi konflik terbuka. Kedua negara berusaha berusaha meredam konflik yang terjadi agar tidak merusak hubungan diplomasi antar kedua negara.
Konflik Sipadan dan Ligitan. Pulau Sipadan dan Ligitan telah menjadi sumber pertikaian antara Malaysia dan Indonesia sejak akhir tahun dekade 60-an. Selama tiga puluh tahun kedua negara seperti menunggu kesempatan untuk mendapatkan hak menguasai pulau tersebut. Namun, kedua negara berusaha menahan diri agar konflik tersebut tidak menjadi konflik terbuka. Kedua negara sepakat untuk menyelesaiakan konflik ini agar tidak menjadi beban bagi kedua negara. Kasus ini kekudian dibawa ke International Court of Justice (ICJ)/ Mahkamah Internasional. Pada tahun 2002 akhirnya ICJ memberikan hak kepada Malaysia untuk mengelola Sipadan dan Ligitan semata-mata karena Malaysia telah menunjukkan bukti melakukan kegiatan pembangunan yang nyata di kedua pulau tersebut.
Konflik Thailand dan Kamboja. Konflik antara Thailand dan Kamboja ini adalah konflik yang memperebutkan kompleks candi Preah Vihear. Kompleks candi peninggalan abad IX, Preah Vihear telah lama disengketakan oleh kedua negara. Candi ini berada di pegunungan yang menjadi perbatasan antara Thailand dan Kamboja. Sebenarnya konflik ini telah diselesaikan melalui Mahkamah Internasional dimana Candi tersebut diserahkan kepada Kamboja pada tahun 1962. Namun, kedua belah pihak masih sama-sama menyatakan pemilik kawasan sekitar candi dan pasukan dari kedua negara terlibat dalam serentetan pertempuran kecil. Bentrok terbaru berlangsung awal Februari 2011 dimana kedua belah pihak saling tuding melanggar kedaulatan. Dalam konflik ini sudah menewaskan beberapa orang.
II.3. Peranan ASEAN Dalam Penyelesaian Konflik
Dalam Konferensi Tingkat Tinggi (KTT) pertama ASEAN di Bali pada tanggal 24 Februari 1976. Dalam KTT tersebut menghasilkan Declaration of ASEAN Concord atau Bali Concord I. para pemimpin ASEAN menginginkan agar ASEAN menjadi wilayah yang damai, netral, dan tidak campur tangan eksternal dari Negara-negara besar di luar kawasan. Berdasarkan keinginan tersebut maka dalam Bali Concord I dihasilkan berbagai prinsip kerjasama salah satunya yaitu mengenai penyelesaian konflik atau sengketa antar Negara anggota ASEAN, yaitu dibentuknya Perjanjian Persahabatan dan Kerjasama di Asia Tenggara (Treaty of Amity and Cooperation in Southeast Asia-TAC). Inti dari TAC ini adalah penggunaan cara-cara damai di dalam menyelesaikan persengketaan intra-regional yang merupakan prinsip-prinsip dasar untuk memandu hubungan berbagai pihak.
Pada Bab IV TAC (Pasal 13-17) memuat pengaturan mengenai penyelesaian konflik atau sengketa secara damai. Berdasarkan Bab IV TAC, terdapat 3 (tiga) mekanisme atau prosedur penyelesaian konflik atau sengketa, meliputi :
1. Penghindaran Timbulnya Konflik atau Sengketa dan Penyelesaian Melalui Negosiasi Secara Langsung

Pada pasal 13 TAC mensyaratkan Negara-negara anggota untuk sebisa mungkin dengan iktikad mencegah timbulnya sengketa di antara mereka. Namun apabila sengketa tetap lahir dan tidak mungkin dicegah naka para pihak wajib menahan diri untuk menggunakan ancaman/kekerasan. Pasal ini selanjutnya mewajibkan para pihak untuk menyelesaikannya melalui negosiasi secara baik-baik (friendly negotiations) dan langsung di antara mereka.

2. Penyelesaian Konflik atau Sengketa Melalui The High Council

Manakala negosiasi secara langsung oleh para pihak gagal, penyelesaian sengketa masih dimungkinkan dilakukan oleh the High Council. Dalam the High Council terdiri dari setiap Negara anggota ASEAN. Apabila sengketa timbul maka the High Council akan memberikan rekomendasi mengenai cara-cara penyelesaian konflik atau sengketa. The High Council juga diberi wewenang untuk memberikan jasa baik, mediasi, penyelidikan atau konsiliasi, apabila para pihak menyetujuinya.

3. Penyelesaian Konflik atau Sengketa Melalui Mahkamah Internasional

Dalam praktik, para pihak yang bersengketa lebih cenderung untuk menyelesaikan konflik yang terjadi melalui negosiasi langsung. Apabila cara negosiasi ini gagal maka para pihak cenderung untuk menyelesaikannya secara hukum yaitu melalui Mahkamah Internasional.
Mekanisme-mekanisme yang seperti dijelaskan di atas merupakan mekanisme penyelesaian konflik yang diterapkan oleh Negara-negara anggota ASEAN yang berkonflik. Apabila dilihat dari mekanisme penyelesaian sengketa tersebut seringkali mekanisme pertama dan yang kedua tidak terwujud, sehingga seringkali yang dipakai yaitu mekanisme yang ketiga. Padahal seharusnya mekanisme yang diterapkan adalah mekanisme yang pertama dan yang kedua karena pada mekanisme tersebut ASEAN dan Negara-negara anggotanya memilki peran yang besar sehingga ASEAN dapat menunjukkan kemampuannya.
Dengan tidak bisanya terlaksana penyelesaiana konflik atau sengketa melalui mekanisme yang pertama, timbul anggapan bahwa ASEAN gagal dan tidak mampu dalam menyelesaikan konflik dan hal ini dapat mengganggu perkembangan dari ASEAN itu sendiri. Ada beberapa factor penyebab ketidakmampuan ASEAN dalam menyelesaikan konflik antar anggota yaitu :


a. Tidak Berfungsinya High Council atau Dewan Agung dalam Treaty of Amity and Cooperation sebagai Badan yang bisa menyelesaikan konflik internal ASEAN

Walaupun ASEAN telah memiliki Treaty of Amity and Cooperation in Southeast Asia (TAC) sebagai code of conduct dalam penyelesaian konflik di kawasan melalui Dewan Agung (High Council), namun sampai sekarang negara-negara anggota ASEAN justru lebih percaya kepada pihak ketiga untuk menyelesaikan sengketanya. Kasus Sipadan & Ligitan antara Malaysia-Indonesia yang diselesaikan oleh Mahkamah Internasional adalah bukti lemahnya mekanisme penyelesaian konflik internal di antara negara-negara anggota ASEAN. Kasus Kuil Preah Vihear yang menimbulkan ketegangan antara Thailand-Kamboja beberapa waktu lalu, telah menyebabkan Kamboja meminta bantuan PBB. Padahal semula Kamboja berupaya meminta bantuan ASEAN, tetapi ASEAN malah mendorong ke 2 negara itu bisa menyelesaikan sendiri masalahnya secara bilateral. Jika negara-negara anggota ASEAN sendiri tidak pernah menghormati perjanjian yang telah disusun sendiri, bagaimana mungkin ASEAN bisa berharap negara lain mau menghormati perjanjian TAC dan perluasannya tersebut.
Bahkan di dalam ASEAN Charter, walaupun Treaty of Amity and Cooperation dirujuk sebagai mekanisme penyelesaian sengketa internal negara anggota ASEAN (Pasal 24 ayat 2), namun anehnya negara-negara anggota ASEAN yang terlibat dalam sengketa juga bisa meminta bantuan Sekretaris Jenderal ASEAN untuk menyediakan jasa baik, konsiliasi dan mediasi dalam rangka menyelesaikan sengketa dengan batas waktu yang disepakati (Pasal 23 ayat 2). Hal ini bisa dilihat sebagai langkah mundur dari apa yang telah tertuang dalam Viantiane Action Programme (2004) yang lebih mempromosikan high council dalam TAC untuk penyelesaian sengketa teritorial. Salah satu alasan kenapa High Council tidak pernah digunakan oleh negara anggota ASEAN untuk menyelesaikan konflik internalnya adalah karena hampir semua konflik teritorial di kawasan Asia Tenggara selalu berhubungan dengan Malaysia sebagai pihak yang bersengketa. Dengan kata lain, Malaysia punya sengketa wilayah (teritorial) dengan hampir semua negara anggota ASEAN. Hal ini tentu menyulitkan penunjukkan negara mana yang bisa dijadikan perantara (wasit) sebagai mediasi untuk menyelesaikan sengketa perbatasan, karena hampir dipastikan bahwa itu memberikan banyak keuntungan bagi Malaysia.


b. Tidak Pernah Membahas Masalah Sengketa dalam Pertemuan KTT ASEAN.

Di dalam Hubungan Internasional, ada pendapat yang mengatakan bahwa bagaimanapun sulit, lama, baratnya proses yang mungkin dilalui, persetujuan damai harus dicapai untuk menyelesaikan sengketa-sengketa mereka sekaligus dan seluruhnya. Hal ini harus dicapai dalam kekuasaan dan wewenang negara-negara anggota ASEAN yang memerlukan tidak saja kemauan politik yang kuat, tetapi juga itikad baik, pengertian, kepercayaan, dan keyakinan bahwa tercapainya penyelesaian damai merupakan kepentingan mereka jangka panjang, baik bagi negara-negara anggota secara individual maupun kolektif. Keberhasilan untuk menyelesaikan sengketa-sengketa yang ada akan memberikan dampak yang positif bagi kredibilitas ASEAN sebagi organisasi kerja sama regional di Asia Tenggara yang dipandang cukup sukses di antara organisasi-organisasi lainnya di dunia.
Namun, apabila melihat kenyataan sekarang ini ASEAN cenderung tidak memiliki niat untuk dalam menyelesaikan konflik atau sengketa antar anggota. Karena, dalam KTT yang dilaksanakan ASEAN, para anggota ASEAN tidaka membicarakan mengenai konflik yang terjadi. Padahal apabila para anggota mau terbuka dalam membahas konflik yang terjadi di KTT maka penyelesaian konflik pun dapat dibicarakan bersama.

c. Masih Diadopsinya Prinsip Non-Interference ASEAN (ASEAN Way)

Prinsip tidak mencampuri urusan negara lain atau doctrine of non-interference merupakan salah satu pondasi paling kuat menopang kelangsungan regionalisme ASEAN. Dengan berlandaskan pada doktrin ini ASEAN dapat memelihara hubungan internal sehingga menutup pintu bagi konflik militer antar negara ASEAN. Dari sudut pandang negara anggota ASEAN, doktrin ini muncul sebagai bentuk kesadaran masing-masing negara anggota yang pada tingkat domestik masih rentan terhadap ancaman internal berupa kerusuhan hingga kudeta.

Doctrine of Non Interference ini menjadi alasan bagi negara anggota ASEAN untuk (1) berusaha agar tidak melakukan penilaian kritis terhadap kebijakan pemerintah negara anggota terhadap rakyatnya masing-masing agar tidak menjadi penghalang bagi kelangsungan organisasi ASEAN, (2) mengingatkan negara anggota lain yang melanggar prinsip tersebut, (3) menentang pemberian perlindungan bagi kelompok oposisi negara anggota lain, (4) mendukung dan membantu negara anggota lain yang sedang menghadapi gerakan anti-kemapanan. Sebagai konsekuensinya ASEAN berusaha tidak mengeluarkan pernyataan yang sangat kritis terhadap negara anggota lain yang sedang menghadapi persoalan internal. Sebagai misal, ASEAN menolak menjuluki rejim Pol Pot sebagai sebagai rejim genocida.

Tetapi, sejak ulang tahun ke 30 ASEAN, Juli 1997, ASEAN Way, dan khususnya norma non intervensi secara ironis menjadi suatu alasan utama dari runtuhnya reputasi ASEAN. Keterbatasan yang inheren dimiliki oleh norma non intervensi menjadi faktor dalam menerangkan sebab menurunnya efektifitas organisasi. Alasan untuk mengaplikasikan norma non intervensi sesungguhnya telah ketinggalan jaman bila dikaitkan dengan perkembangan lingkungan internasional dan regional. Karena mau tidak mau dalam menyelesaikan konflik, intervensi pasti akan terjadi dan seharusnya intervensi ASEAN harus lebih kuat, karena dengan demikian konflik dapat diselesaikan oleh ASEAN itu sendiri tanpa harus memakai pihak ketiga dari luar. Apabila penyelesaian konflik hanya sekedar himbauan maka konflik tersebut sulit untuk diselesaikan karena dibutuhkan kesadaran penuh dari pihak yang berkonflik.

BAB III

KESIMPULAN

Berdasarkan penjelasan mengenai peran ASEAN dalam menyelesaikan konflik, maka dapat disimpulkan bahwa ASEAN selama ini belum mampu untuk menyelesaikan konflik yang terjadi antar Negara anggotanya. Hal ini disebabkan karena ASEAN masih memegang prinsip-prinsip lama yang sudah tidak sesuai lagi untuk dipertahankan untuk sekarang ini, misalnya saja prinsip non intervensi yang menjadi penghalang bagi ASEAN untuk menyelesaikan konflik. Selain itu tidak berfungsinya High Council dalam menyelesaikan konflik yang terjadi. Hal ini dikarenakan tidak adanya sanksi tegas yang dibuat untuk Negara yang melanggar aturan.
Dengan demikian, para pihak yang berkonflik memakai mahkamah Internasional untuk menyelesaikan konflik yang dihadapi. Karena ada rasa ketidakpercayaan dari negara anggota yang berkonflik untuk memakai ASEAN sebagai alat untuk menyelesaikan konflik yang terjadi. Sehingga lebih mengandalkan Mahkamah Internasional untuk menyelesaikan konflik, karena Mahkamah Internasional dianggap lebih berpengalaman, netral, dan memiliki sanksi yang tegas. Namun, dalam penyelasaian konflik melalui Mahkamah Internasional akan merugikan salah satu pihak. Padahal kemungkinan besar apabila konflik dapat diselesaikan secar baik-baik oleh ASEAN kemungkinan salah satu Negara dirugikan cenderung lebih kecil terjadi. Dan dengan tidak memakai Mahkamah Internasional dalam menyelesaikan konflik maka tujuan dari ASEAN dimana menjaga stabilitas dan keamanan tanpa campur tangan pihak asing dapat terwujud.
Sebagai saran, ASEAN sebagai organisasi regional dalam menyelesaiakan konflik harus memiliki sanksi yang tegas, sebagai suatu kekuatan dalam menghukum Negara anggota yang cenderung memicu konflik, karena dengan adanya sanksi yang tegas maka setiap Negara anggota akan lebih dapat mematuhi segala peraturan dalam organisasi, karena selama ini ASEAN hanya menuntut kesadaran dari Negara anggota. Selain itu, ASEAN juga harus meninggalkan prinsip non intervensi yang selama ini dianut oleh ASEAN padahal prinsip ini seringkali menghalangi upaya ASEAN dalam menyelesaikan konflik. Apabila konflik terlalu sering terjadi dan tidak dapat diatasi maka akan menghambat perkembangan ASEAN, terutama menghalangi terwujudnya komunitas ASEAN 2015.
DAFTAR PUSTAKA

Adolf, Huala.2004. Hukum Penyelesaian Sengketa Internasional, Jakarta: Sinar Grafika,
Cipto, Bambang. 2007, Hubungan Internasional di Asia Tenggara, Jakarta: Pustaka Pelajar
Luhulima, CPF,dkk, 2008. Masyarakat Asia Tenggara Menuju Komunitas ASEAN 2015, Yogyakarta: Pustaka Pelajar

INTERNET
http://miamutiadewi.blogspot.com/2010/01/perkembangan-asean-dan-peran-asean.html
http://www.tempointeraktif.com/hg/politik/2010/12/17/brk,20101217-299731,id.html
beberapa data yang oleh dari Google.com